Kamis, Maret 27, 2008

Sensor Pornografi di Internet

Bagus! Pemerintah, melalui Rapat Paripurna yang di pimpin oleh Ketua DPR dan dihadiri oleh Menkominfo, memastikan bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik akan di berlakukan mulai 1 April 2008. Regulasi adalah counter penahan (baca: sensor) laju kencang akses situs-situs negatif di dunia maya Indonesia. Meskipun juga menertibkan perjudian dan pencemaran nama baik, gaung yang kencang di permasalahkan adalah pornografi. Sudah jelas akan ada pro dan kontra, dan akan terlihat siapa kawan dan siapa lawan. Ya jelas bukan lawan dalam arti harafiah adu jotos hingga bunuh-bunuhan. Paling-paling gontok-gontokan mirip kasus Pilkada. Paling-paling kayak anak kecil rebutan permen.

Kawan adalah pribadi yang care pada seseorang lain atas hal-hal buruk yang mungkin menimpanya, dalam hubungan personal. Bisa juga berarti empati kepada pihak lain tanpa mengenal adanya hubungan personal dan di simbolkan dalam ungkapan “kawan” atau “saudara”. Kalo begitu lawan adalah sebaliknya, lu-lu gue-gue dan bahkan nyukurin terhadap apapun hal buruk yang akan terjadi pada orang lain entah dalam hubungan personal ataupun sekedar empati. Dalam konsep ini, bisa di samakan dengan good and evil.

Saya pro terhadap Undang-Undang ITE dan saya tidak takut mendeklarasikannya. Saya bukan malaikat. Saya jauh dari model manusia paling ideal. Rasul lah manusia paling ideal. Baik moralitas, religiositas, psikologis, hingga sosiologis. Dalam orientasi seksual, saya straight alias laki-laki tulen yang nggak doyan waria dan nggak doyan pedang-pedangan! Dus, saya tidak mau menjadi hipokrit. Sebagai pria normal, saya jelas horny nonton wanita telanjang di internet. Saya juga “tegang” melototin sekaligus dengerin desahan perempuan “di hajar” oleh satu-dua atau tiga pria. Normal, walaupun saya lebih suka permainan singel hueheheheheeee… Tapi kenapa saya setuju sensor dan seakan bermuka dua? Karena saya adalah kawan saudara-saudara sebangsa. Saya ikhlas nggak “tegang” oleh situs porno kalau taruhannya adalah bangsa. Saya justru bersyukur bisa “tegang” sampe puas hanya dengan istri sendiri. Saya bukan pahlawan. Lebih pahlawan para penyapu jalan. Lebih heroik para TKI yang jujur yang sering di cuekin pemerintah. Lebih patriotik para guru yang tulus mengajar di pedalaman dengan gaji secuil. Saya tidak rela anak saya kelak (semoga diberi) dan anak-anak lain ngiler sama situs yang bikin deg-deg-serr itu. Pertama main internet, nemu mainan baru, kemudian keenakan “anu”nya bisa berdiri trus mainin “anu”, trus akhirnya praktek main “dokter-dokteran”.

Sampai di situ saya care dan mendukung Undang-Undang ITE ini. Ini menegaskan bahwa saya adalah kawan. Buat para lawan, tanpa kemauan adu jotos, saya mau tanya dulu deeeh… ehmmm, apa nggak ngeri bayangin putra/putrinya ngumpet-ngumpet browsing situs porno dengan raut muka yang berangsur jadi mesum? Apa kita sepakat bahwa kita mengaku bangsa beragama tapi film uh-ah hasil unduhan bersampul ala Naruto itu ada di lapak-lapak depan sekolahan?! Apa tega melihat ratusan berita gadis kecil dicabuli gara-gara situs porno? Liputan 6 SCTV, Rabu sore (26/3), meliput fakta mencengangkan. Seorang anak kelas 3 SD dan banyak anak lainnya kecanduan situs porno. Kelas 3 SD! Nah, lho…

Mayoritas penghuni bangsa ini belum dewasa untuk siap menerima globalisasi model itu. Jangan justru mengatakan sebaliknya. Sebuah artikel di satu surat kabar terkemuka Indonesia menulis: “Kasihan bangsa kalau ada sensor internet. Kasihan bangsa ini, susah benar mau maju”. Apa nggak kebalik? Kalo saya pribadi, justru kasihan bangsa yang belum maju ini di cekokkin pornografi yang seolah semua umur dan anytime anywhere itu. Kalau mau maju dan jadi dewasa, bukan dengan pornografi donk… tapi pola pikir dan pola sikap. Wong jadi dewasa dan maju dengan mau menerima kekalahan dalam Pilkada atau sepak bola saja, di luar kecurangan yang mungkin terjadi, susahnya minta ampun. Sesulit jadi dewasa dan maju untuk menyadari program-program gosip menjurus fitnah dan sinetron ecek-ecek di tipi itu juelek nggak ketulungan.

Menurut Mohammad Nuh, sang Menteri, mari kita gunakan logika terbalik. Katanya, “berikan saya alasan yang kuat bahwa untuk bisa menumbuh-kembangkan bangsa ini adalah melalui pornografi, dan berikan saya alasan kuat bahwa untuk memajukan bangsa ini adalah dengan bau kekerasan”. Ini logika hebat. Bravo Bapak Menteri! Saya tidak menjilat. Insya Allah, obyektif saja…

Iran, terlepas dari asas Islam dan model demokrasinya yang unik, melakukan pelarangan terhadap pornografi sejak jaman kuda. Program-program remeh-temeh seperti infotainment dan gosip pun sangat ketat di batasi. Fact: Iran lebih maju dari Indonesia. Cina, diluar paham komunis yang semua aspeknya di kendalikan pemerintah, melakukan sensor melalui router backbone nasionalnya. Fact: Cina amat-sangat-sekali jauh lebih maju buangeet! Kenapa bisa begitu? Karena sebagai bangsa mereka punya apa yang dinamakan ruh. Kita enggak punya itu. Percaya deh, bangsa yang tidak punya ruh akan jadi bangsa yang mudah terseret, terombang-ambing, di remehin, di jadiin keset, dan nantinya huancur luebuurr! Modernisasikan dulu pola pikir dan pola sikap biar bangsa ini dewasa, maju, dan punya ruh. Setelah itu, walaupun tetap akan saya anggap lawan, baru boleh lah memajukan diri dengan gaya hidup ala globalisasi macam itu sesuai dengan kadar pola pikir dan pola sikap tadi.

Bung, demokrasi bukan kebebasan ekspresi gila-gilaan lho. Reformasi semestinya bukan menjadi simbolisasi euforia kebablasan. HAM adalah produk bagus yang sayangnya kerap kali kita membabi-buta dan too liberal dalam memaknainya. Kalau para kawan sensor di sebut melanggar HAM karena mengebiri hak horny orang lain, lalu para lawan sensor apa nggak melanggar hak orang lain untuk tumbuh baik dan benar? Adalah kewajiban negara melindungi warganya dari apapun yang tidak baik dan tidak benar. Sebagaimana negara wajib melindungi warga dari potensi kemiskinan struktural, menjaga gap kesenjangan, memberi makan warga fakir dan dhuafa, melarang perjudian agar tidak semakin merajalela, dan kewajiban-kewajiban lain. Seperti juga agama menjaga pemeluknya supaya awas dari praktik dan “piktor” kemaksiatan. Seperti juga Pak Kusir mengendali kuda supaya baik jalannya, tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuuk… Ini memang kayaknya gombal. Tapi, betul kan?

Buat Pak Nuh, bismillahirrahmanirrahiim! Asal jangan situs-situs kritis yang intelek dan progresif ikut di berangus ya Pak! Asal juga jangan dengan dalih pencemaran nama baik, situs yang potensial memberi masukan dan kritik cerdas jadi di bungkam. Setuju kan, kawan?

Daru Dewanto, Maret 08

Tidak ada komentar: