Selasa, September 09, 2008

Sabtu, Agustus 16, 2008

MERDEKA...!!

Indonesia merdeka. Enam puluh tiga tahun merdeka dari perang melawan kolonialisme dan imperialisme kaum Londo. Saya maksud perang fisik. Saya bertaruh pada jaman itu lahan untuk bambu pada gundul. It is worth it. Saya berani jamin hampir 100%, bambu gratis dibagikan atau di cari sendiri tanpa butuh HPB (Hak Pengelolaan Bambu) untuk di serut runcing ujungnya. Bukan untuk layang-layang. Instruments of war for free. Perang. Jihad fi sabilillah. Syahid. Saya juga berani jamin, banyak sukarelawan gratis mengangkat bambu-bambu siap pakai. Saking banyak, bambu habis. Batu juga jadi. Tangan kosong pun boleh. MERDEKA!!.

Saya jamin sekarang, hampir 100%, jangankan dengan bambu, dengan mulut pun kita tidak berani menentang itu Si Imperialis. Yang terjadi adalah, Londo itu hebat. Maju. Terhormat. Parlente. Modern. Keren. Trendy. Kita minder oleh Londo. Hebat. Pintar. Kita bodoh. Di bodohin. Di sanjung untuk kebodohan dan ketida-beranian sendiri. Lemas. Lunglai. Tidak berdaya. Letoy. Dengkul copot.

Sama saja. Kita punya maling, Londo juga punya. Kita jujur, ada Londo jujur. Kita copet, Londo copet pun ada. Kita preman, Londo juga punya preman. Kita bodoh, banyak pula Londo tidak bisa baca tulis. Kita pintar, Londo pun sama. Otak kita nomor satu. Berapa banyak medali olimpiade otak kita menangkan?

Kita kagum pada pembangunan negeri Londo. Buta mata kita. Ngiler pada modernisasi para Londo. Buta hati kita. Berkhayal pada gaya hidup globalisasi Londo. Buntu pikiran kita. Berjingkrak pada sistem politik produk Londo. Mampet intelektualitas kita. Mulut diam. Plester. Lakban. Gembok. Kawat berduri. Pistol di kepala. Russian Roullette.

Kemerdekaan untuk sadar bahwa Londo tidak jauh lebih inferior. Kemerdekaan untuk mengobrak-abrik "penjajahan" Londo. Kemerdekaan untuk membuka gembok di mulut lalu mengatakan "Jangan Injak-Injak Tanah Air Kami". Kita belum (atau tidak?!) berani. Prajurit Londo sudah pernah merasakan keberanian kita sejak beratus tahun lalu. Belakangan, memble. Ingus Si Temon meler untuk mengangkat perlawanan dari sudut hati. Kita meneteskan iler (baca: bahasa jawa, "ngowoh") lihat jerami-jerami imperialisme para gembala sapi. Ambil jerami. Rumput. Sapi lapar. Makan rumput. Enak. Gratis. Sumber daya tenaga habis tapi perut kenyang. Beres. Tidak usah mikir. Idealisme bikin hidup susah. Ada si Tuan Gembala. Aman.

"MOOOO!...(baca: jerami segar!)...", kata gerombolan sapi. "Gleg..."
"Saya orang punya jerami, kamu sapi saya kasih makan"
"Kamu sapi punya susu. Saya orang punya jerami"
"Kamu sapi punya kulit. Saya orang punya jerami"
"Kamu sapi punya tenaga. Saya orang cukup sedia rumput"
"Kamu sapi punya daging, kikil, buntut. Saya orang punya...hmmm...jerami lagi tidak apa-apa?"
"MOOOO!...(baca: cepat tambah jeraminya Mister!)", para sapi gelisah. "Gleg..."
"Kamu sapi marah?! Jangan...ini saya kasih jerami lagi. Satu truk"

Itu sapi. Jiwa binatang perah. Kemerdekaan untuk membangunkan jiwa dan ruh syahid, terpendam oleh pecut gembala sapi. Kita tidak berani. Hanya segelintir. Secuil. Seiprit. Jiwa binatang perah. Ruh obral. Hanya berani bilang merdeka seremonial. Pecut diayun, diam. Beraninya itu. Pengecut. Keder. Cemen. Kelas teri. Coro.

Pak Teuku Umar dan Bu Tjut Njak Dien nangis. Pak Pangeran Diponegoro nelangsa. Daeng Hasanudin prihatin. Bung Tomo malu. Nanti mereka bangun dari tidur panjangnya lalu memberontak. Makar. Kita bilang idealisme kebablasan. Pahlawan kesiangan. Pemberontak. Kita ganyang mereka karena bilang MERDEKA!!.

BUAT TANAH AIR >>
TENANG, MASIH ADA RUH DISINI... MESKI SEGELINTIR, MERDEKA!

Kamis, Agustus 14, 2008

Pembohong dan Penjujur

Definisi jujur menurut saya adalah orang yang tidak berbohong, simpel saja. Tidak berbohong pada Tuhan, diri sendiri, dan orang lain. Tetapi sering kali saya temui para hipokrit, mungkin saya sendiri atau anda juga bisa mewakilinya. Saya kerap kali marah bila menyaksikan para caleg dan capres berbohong pada janji, tetapi saya pun kadang berbohong kepada diri sendiri dan orang lain. Saya bilang rejeki padahal nilep duit proyek. Saya bilang Alhamdullillah tapi rame-rame berjamaah mark-up nilai pengadaan. Benar, kita semua adalah Pembohong. Bahkan saya rasa hanya 1% dari sekian banyak manusia yang patut di sebut Penjujur di dunia. Barangkali hanya Muhammad SAW yang pasti tidak pernah berbohong. Begitulah. Saya dan banyak orang punya excuse; beliau adalah Rasul jelas tidak mungkin berbohong. Pada saat yang sama, saya pun punya argumentasi yang rasional saat berbohong; manusia biasa tidak luput dari alpa dan kesalahan. Alasan itu adalah senjata dan jimat ketika berbohong dan (apalagi) ketahuan. Tameng dan “zirah” saya saat berperang melawan pergolakan batin yang akhirnya dimenangkan oleh kebohongan. Si Penjujur di tikam, di tusuk, dan di mutilasi. Saat itulah, saya menjadi Pembohong pada diri sendiri, Tuhan, dan sekaligus orang lain. Ck…ck…ck

Di negeri dongeng, pembohong di libas oleh pencari kebenaran. Pencari kebenaran berteman karib dengan Penjujur. Tapi bisakah si Penjujur mencari kebenaran di negeri yang benar-benar negeri, sementara para Penjujur pelan-pelan habis binasa oleh komplotan Pembohong? Sementara Pembohong menghisap darah Penjujur, kebenaran telah lari menjauh oleh egoisme pribadi yang posesif. Penjujur musnah. Pembohong melibas. Ketidak-jujuran dari sudut-sudut yang terpojok semasa kita balita terbahak-bahak. Bahkan idealisme atas kebenaran di rancukan oleh para Pembohong dengan mengatakan bahwa idealisme itu salah dan reyot. Idealisme itu langkah mundur. Idealisme hanya hidup dengan Penjujur yang perlahan binasa. Lebih baik menjadi Penjujur yang inlander, meminta kompensasi atas kejujuran. Anda punya sesuatu yang bisa saya tukar dengan kejujuran saya? Penjujur ini pintar. Pembohong yang punya senjata ampuh nan dahsyat; menjual kebenaran.

Saya ini banci. Takut sama kebenaran. Gila. Pembohong. Pembohong bermartabat. Toksik. Parasit. Bunglon parasit. Penjujur yang Pembohong.

Funniest Satire

Nah...apa saya bilang?! huahahaaa baru saja saya bilang soal Politik Komedi gara-gara para badut selebriti...

Fact: Sekarang dukun ikutan berpolitik!

Apa kalo bukan komedi??

Menulis Lagi...Gara-Gara Selebriti Badut...

Saya sudah bangun. Bangun dari tidur pulas semasa mogok nulis. Ada satu kejadian atau peristiwa yang baru kali ini terasa menampar jidat saya dan membuat saya sakaw ingin menulis lagi. Ceples! Mendarat di jidat yang lapang. Saya sebagai manusia punya kekurangan dan kelebihan. Kekurangan saya; rambut. Kelebihan saya; jidat.

Pas. Cocok. Tamparan itu nangkring di jidat, bukan di pipi. Tempelengan itu telak bikin jidat panas seperti di gosok pake amplas. Selebriti Rame-Rame Jadi Politisi. Butuh waktu bagi saya untuk memutuskan menulis lagi atau menunggu sampai ada kejadian aneh bin janggal lagi.

Betul-betul negeri parodi. Politik komedi. Selebriti badut komik. Tertawa tapi sedih. Miris tapi geli. Dipikirnya negara ini cuma arisan Karang Taruna. Grup Paduan Suara. Marching Band. Dunia Fantasi. Pinokio jadi caleg Negeri Boneka. Dalton Bersaudara pake baju kuning strip hitam jadi Kepala Penjahat. Smurf. Dikiranya negara ini bisa di smurf (baca: kelola) dengan kepopuleran.

Saking kaget dan tidak mengertinya, saya bingung mau omong apa. Mau omong panjang lebar juga malas.

Aseli. Suer. Betul. Saya masih tercengang. Oalah biyung, biyuung...

Senin, Juni 16, 2008

MOGOK NULIS

Kenapa saya ga update? The right answer for this question is... mogok menulis. Sounds ridicilous... tapi semua orang punya pilihan sendiri... dan sampe keadaan Indonesia banyak masalah gini (termasuk rata2 warganya yang "aneh bin ajaib"), saya mogok nulis tulisan dengan tema tertentu! Tulisan ini karena saya ga kuat heheheheeeee...

Pasti tau banyak masalah yang saya maksud... kok bisa satu negara punya masalah banyak banget, berturut-turut, hampir semua bidang, tapi warganya hidup bergaya-gaya dan masa bodoh... Thomas dan Uber cuma jadi mimpi, BBM naik susu tak terbeli (Iwan Fals's songs never been outdated) karena liberalisasi dari kapitalisme sekuler, Bea Cukai bobrok (sukuriiin!), konpirasi tingkat tinggi dan suap BLBI di Kejakgung (yaaaah... ya memang cuma segitu kualitas pejabat dan artinya ini indikasi kalo korup, suap, dan buta duit udah biasa terjadi di antara warga negara), penyerangan Polisi ke Unas, kasus Pilkada dimana-mana, kasus Monas (what a fool we are) yang penuh indikator adu domba agama Islam, muslim yang nuntut FPI bubar (it's Ahmadiyah yang perlu di bubarin trus di bina, brother! FPI di hukum dengan pasal kekerasan aja), terus sekarang ini hmmmmm... geng Nero!

Ck, ck, ck... itu semua yang jadi sebab saya mogok nulis! udah nyari duit tambah susah, semua jadi mahal tapi gaji ga naik, jadi tambah sibuk pula..... alhasil, kalo satu saja persoalan di atas beres, saya mau nulis lagi!

Kamis, Mei 08, 2008

XL KACAU

Waah ini betul-betul minggu-minggu tersibuk....suumprriiit, i'm bloody swear it is true!

Bikin webblog buat tas, kantor yang di jejalin sama complain customer gara-gara Billing di XL yang kacau balau, baca buku Keseimbangan Matematika dalam Al-Qur'an (where logics and faith amazingly meet), menghayal, dan macem2 laah...huahahahaaa......

Ngomong2 soal Billing XL, ini mah udah ga kaget lagi! sebenernya sih ga kepengen ada masalah, tapi emang bener2 kelewatan itu... KARTU TERBLOKIR dengan ALASAN BELUM ADA PEMBAYARAN sejak Januari (kadang juga bilang Maret) padahal sekarang udah Mei dan April kemarin masih aktif! Anehnya, bila satu bulan saja belum di bayarkan, kartu akan terblokir! Weee lha, kok bisa di bilang belum bayar sementara udah jalan 4 bulan?

Yang paling lucu dan aneh bin ajaib bin langka bin janggal, TANDA TERIMA dari XL sejak Januari sudah ada di tangan! huahahahhaaaaa..... jeboool, Pakde! kacau, Bleh! Ebleh-ebleh!

Yaaaah..... udah gitu jadi males, mau komitmen sama pelanggan tapi kita juga ga dapat komitmen dari XL...kasian itu pelanggan, tapi kasian kita juga jadinya. Complain ga selesai2, di forward ke XL, XL nya ga kasih Solusi...

Mending mikirin yang lain aja la yaaw!

Jumat, April 18, 2008

Chocolate Roll Cake Batik


Yaaah.... kalo laper tinggal liat foto ini... roll cake batik, ada yang mau? sekarang bukan cuma kain atau topeng yang bisa dibikin kerajinan, kue aja bisa... merknya HOPE, uenaak buangeeetzz! yummmiiyyyy.... ngiler-ngiler daaah!

Sebenernya kemarin itu kue pengen dianter, tapi yaa dasar pencinta coklat... foto dulu aaah.... ada yang mau? hubungin aja sayah yah...

Sabtu, April 12, 2008

Identitas


Kata Victor Hugo di novelnya, Les Miserables, gorong-gorong itu identitas peradaban manusia. Dari situ sejarah atas berbagai ciri, tindak-tanduk, sampe kondisi idealisme peradaban manusia bisa terbaca dan terlihat. Gorong-gorong ini biasa kita sebut got ya… soalnya kepanjangan dan kita nggak terbiasa sama istilah gorong-gorong dan spesifikasi serta klasifikasinya seperti apa untuk bisa di sebut demikian… got aja udah bagus!

Nah, kalo saya (berhubung di kamar nggak ada got, ada Septic Tank persis di depan kamar) kulkas aja lah yang jadi identitas… dalemnya kadang dingin, bikin dodol alias jenang jadi keras. Brownies panggang yang full chocolate jadi agak keras juga. Kadang juga karena saya matikan demi penghematan (untung belum jadi insentif dan disinsentif!), jadi di dalemnya panas. Cokelat jadi lembek bin jemek kayak lempung. Jeruk jadi keriput. Air segar buah semangka jadi habis kayak habis di kenyot vampire. Kadang waktu lagi nggak kepengen di matiin karena lagi nyimpen klepon, semar mendem, dan putu, malah mati lampu. Di bohongin saya sama janji Pilkada. Sukses lah itu penganan tradisional jadi basi. Yaah, akhirnya saya tempel-tempelin aja… temen saya yang lagi tandang ke kamar pada bereksperimen memaknai tempelan-tempelan itu…

Huahahaaaaaa ada yang bilang lagi patah hati, ada juga ngomong terlalu idealis, ada juga yang julukin kreatif sampe jorok, dan sampe ada yang komentar juga “isinya serame depannya nggak?”… Akhirnya kamuflase saya terbongkar! Maksud saya mau membuyarkan konsentrasi temen-temen dari isi di dalam kulkas, tapi akhirnya selalu aja ada yang tanya begitu! Hueheheheee….

Waah, betul-betul informasi nggak nyambung, bleh! Silahkan menikmati kulkas aja lah…

Kamis, April 10, 2008

The Reds Will Never Walk Alone

Rasa kantuk memang tidak bisa saya hilangkan kemarin malam. Wajar saja, saya seharian kerja. Nggak wajar kalo saya adalah Bupati pamong masyarakat yang pasrah kalah sama ngantuk waktu Pak Presiden pidato. Kopi Lampung pemberian tetangga segera saya seduh. Saya membaca Kompas dengan harapan membaca itu biasanya mengusir kantuk yang saya alami. Jam 23.30 tepatnya ketika saya mendadak seperti semaput. Saya tertidur pulas dan alpa menyetel alarm. Tapi tiba-tiba BYAR!, saya terbangun pukul 02.10. Rasa-rasanya bila saat itu bukan Liverpool, barangkali saya akan ketiduran sampai terang. Kemungkinan besar, saya akan terlewat Subuh dan bahkan mungkin telat ngantor pula. Untunglah hukuman double urung saya dapatkan. Suporter Si Merah di kota The Beatles itu bagaikan mengembalikan roh saya untuk bangun. Woi, Ru bangun… They Should Never Walk Alone. Meskipun dua puluh tiga menit sudah pertandingan berjalan, saya bisa mengusir ngantuk. Hush…hush… Satu yang membuat saya langsung melek selain karena hobi saya adalah Sepak Bola, favorit saya itu tertinggal 0-1. Sialan itu Arsenal, mentang-mentang saya tidur. Beraninya itu Arsenal, mencuri waktu satpam lagi tidur. Hueheheheheeee…

Tapi jelas saja saya percaya The Reds bisa menguber defisit. Ini Eropa, Bung! Yaaah, ini pembelaaan diri saja alias defensif karena di panggung Premier League kesebelasan saya rada-rada memble kalo ketemu sesama tim Big Four. Kepercayaan saya itu terkabul. Yup, betul. Sami Hypia menyundul dan gol. 1-1. Keyakinan saya membuncah saat Fernando “El Nino” Torres menyarangkan gol kedua The Reds dengan cara yang sangat elegan dan spektakuler. Mirip teman saya, Arif, dulu waktu saya masih SD yang ingusan. Gooooool! Kopi Lampung yang sudah dingin tumplek blek di lantai terkena sontekan kaki saya yang reflek bergerak.

Tapi betul-betul, sepak bola itu bagaikan simbol dari pertunjukan teater yang berjudul kehidupan. Muram sekejap bisa jadi senang. Senang itu pun bisa mendadak surut. Untuk kembali lagi meraih senang itu, tidak lain hanyalah maju tak gentar dan pantang mundur alias suka maju. Bukan maju kena mundur kena. Itu kalo tabrakan di jalan sama wong cilik yang bila di pikir-pikir wong cilik itu lah yang salah. Bukan juga depan bisa belakang bisa. Itu gay.

Arsenal memang anak-anak muda "gila". Nggak mau tunduk gitu aja. Salut saya. Tinggal tujuh menit waktu normal, Si Nwanko Kanu baru, Adebayor, bikin gol! Tiga pemain depan Arsenal berhadapan frontal dengan Reina yang bak The Lone Ranger. Skor 2-2. Mendadak saya mau pingsan. Udah telat nonton, kopi tumpah, di tambah lagi rasa was-was Liverpool bakalan tersingkir. Tapi rasa pantang mundur itu memang pasti akan terbalas. Kalo mental Eropa Anfield Gank hanya berkualitas aspal jalan Ibu Kota, mereka akan langsung jatuh setelah gol Adebayor itu. Rasa nggak mau menyerah hanya karena satu hadangan akan berbalas air susu. Cuma khusus tadi malam, balasannya adalah hadiah penalti akibat Ryan Babel di jatuhkan di kotak 12 pas. Mengapa saya bilang mental The Reds bukan sekelas aspal? Dengan skor imbang 2-2 yang menyebabkan Liverpool harus melupakan semi final, menendang penalti adalah ujian berat. Jika saja mental Steven Gerard ecek-ecek, niscaya tidak akan Liverpool menang malam itu. So, jadilah Gerard di sayang oleh para pengawas ujian di stadion atau yang ada di rumah seperti saya. Nilainya A karena bola sukses membobol gawang Almunia. Lebih sempurna lagi, seolah membayar gol hadiah penalti, Babel mencetak satu gol indah lagi di injury time.

Saya girang gak kato’an. Saya guiraaaang setengah mampus. Liverpool ke semi final Liga Champions. Liverpool -seperti jalan yang di kasih dari Atas Sana- membangunkan saya dari kealpaan saya menyetel alarm dan saya bisa Subuhan. Terhindarlah saya dari hukuman. Memang betul, The Reds Will Never Walk Alone. Ah, bisa aja saya ini di sambung-sambungin.

Selasa, April 08, 2008

Antara Manusia, Kunyuk, Antares, dan Alam Semesta



Suatu hari sebuah mail masuk dalam kotak email saya, berisi gambar-gambar planet di Alam Semesta. Bagai menohok diri saya, email itu menyadarkan betapa cilik, mini, dan kecilnya saya. Saya jadi eling. Saya manusia. Ecce Homo, menurut pengakuan Friedrich Nietszche. Kita semua manusia. Meskipun masih saja ada yang begitu gemar menunjuk asu alias anjing atau babi pada orang lain, tetap saja kita manusia. Soal yang demikian, itu pengalaman kita sebagai objek, subjek, dan (hanya) aktor kecil dalam interaksi sosial dan ekosistem human being secara khusus, dan alam semesta secara umum. Walaupun saling mengecilkan, dalam habitat manusia kita sama. Namun dalam ekosistem alam, kita kecil. Lalu, meskipun kebanyakan dari kita pernah mempunyai pengalaman sebagai asu, tapi tanpa sadar kita juga bisa meng-anjing-kan orang yang lain lagi. Kalau begitu, kita semua sama-sama “anjing” kecil alias anjing pudel. Lebih ekstrem lagi, kirik alias Si Guk-guk junior.

Tetapi faktanya, tidak ada satu pandangan dan teoripun yang mengatakan bahwa kita ini manusia yang punya dualisme identitas sebagai manusia yang sekaligus anjing atau manusia yang juga babi, kecuali babi ngepet atau anjing jadi-jadian. Pengalaman bukan teori. Bagaimanapun, teori adalah teori. Bisa menjadi konkret atau selamanya menjadi teori yang sangat mungkin akan dipecahkan oleh teori dan penemuan berikutnya sebagaimana hakekat ilmu pengetahuan. Ya, benar. Jika tidak gagal, di perbaharui, atau di patenkan menjadi dalil.

Teori-teori dunia kosmos geosentris ala filsuf Yunani kuno sebelum masehi semacam Ptolomeus (127-212 SM) telah dimentahkan bulat-bulat oleh Herr Nicolaus Copernicus (1473-1543) dengan paham heliosentris-nya. Teori ilmuwan Polandia itu di dukung dan di perbaharaui oleh Signor Galileo (1546-1642) dengan sistematika matematis dengan stetoskop yang justru bukan ditemukan oleh Tuan Galileo, meski beliaulah yang mempopulerkannya dari atas kapal Angkatan Laut Venice sebagai ABK. Ironisnya, teori kosmik terbaru itulah yang menyebabkan Galileo “menyerahkan diri” untuk dihukum. Tidak cukup itu saja, ia juga dimaki serta diperlakukan bak anjing oleh para ilmuwan lain dan otoritas keagamaan masa itu karena dianggap melecehkan dan menentang doktrin-doktrin risalah keagamaan di Italia. Lebih sadis lagi jika kita melongok Bruno (1548-1600), seorang pendukung dan pembaharu teori Copernicus. Ia beruntung (atau justru sial?) tidak dimaki-maki “anjing”. Ia bahkan tak sempat merasakan bagaimana kesalnya diperolok sebagai “anjing” karena ia langsung dibakar hingga mampus oleh otoritas penguasa keagamaan waktu itu karena dianggap kemasukan setan! Tragis. Ternyata ideologi penghakiman bakar-bakar memang tersimpan dalam tabiat manusia. Cuma mungkin di Indonesia yang baru saja tren.

Teori-teori tentang Bumi bulat, garis edar dan bentuk elips orbit, ataupun Matahari sebagai pusat tata surya milik Copernicus, Galileo, Keppler (1571-1630), hingga Bruno, kini bukan lagi sebuah teori. Ketika manusia-manusia berikutnya benar-benar menemukan bahwa Bumi itu bulat melalui berbagai studi-studi ilmiah dan pengujian atau yang paling sederhana melalui tiang kapal, lambat laun itu menjadi dalil atau hukum seperti halnya Dalil Phythagoras tentang segitiga siku-siku. Selintas, (meski hanya terlintas saja) bayangkan teori evolusi nan kontroversial Lamarck (1744-1829) atau Darwin (1809-1882). Tanpa mengecilkan kepintaran dan kontribusi beliau-beliau ini terhadap ranah ilmu biologi dan zoologi, saya yakin seratus persen Adam dan Hawa adalah manusia pertama yang merupakan asal-usul manusia. Teori yang menyatakan bahwa manusia berasal dari kunyuk alias kera (bukan anjing atau babi) dan kehidupan adalah semata-mata karena adaptasi dan proses seleksi alamiah belaka itu, masih sebuah teori. Semua kontradiksi baik yang bertolak dari sisi agamis yang harus kita yakini sebagai umat beragama maupun dari sisi science, saya rasa bisa secara logis dijelaskan. Bisa di argumentasikan tanpa bercucur keringat dan berkonfrontir sebagai pengalaman scientific dan sekaligus religious yang saya rasa tidak akan merugikan. Sekarang, anda bisa menambah perbendaharaan kosa kata makian anda dengan kunyuk.

Tapi saya pribadi cukup yakin bahwa tidak ada di dunia ini yang terjadi secara kebetulan ataupun proses alamiah dan adaptasi makhluk hidup terhadap alam semata, seyakin saya juga bahwa ilmu manusia itu sangat terbatas (walaupun saya mengakui seratus persen pula bahwa fosil itu adalah benar ditemukan). Saya pun menolak Generatio Spontanea yang mengatakan kehidupan bermula dari benda mati milik Aristoteles (348-322 SM), pemikir terbesar zaman Babylonia itu. Sekedar ilustrasi, telur menetas untuk menjadi makhluk hidup yang kemudian berkembang biak lalu menghasilkan telur lagi. Omne Ovum Ex Vivo. Ya, saya setuju; jika makhluk hidup berasal dari telur, lalu dari mana asal telur jika bukan dari jasad hidup? Tidak sulit menjawab pertanyaan jaman saya SD, “telur atau ayam dulu?”, bukan?

Lebih sederhana, coba pikir kunang-kunang. Kunang-kunang sanggup mengeluarkan 98% cahaya (energi panas) tanpa membakar tubuhnya sendiri atau tanpa membakar tangan kita saat memegangnya. Sedangkan manusia sekelas profesor membuat bohlam bercahaya 10% saja, jika kita sentuh akan terasa sangat panas. Hmmm… ajaib bukan?! Apakah mungkin kunang-kunang atau proses adaptasi terhadap alam yang menciptakannya? Anda mungkin punya pemikiran sendiri tentang ini.

Pikirkan gurita yang dalam sekejap mampu merubah warna sesuai dengan kondisi sekelilingnya karena memiliki sel-sel pigmen sensor radar, sewarna-warni apapun itu. Anda pasti tau berapa ratus ribu komposisi warna yang mungkin tercipta dari penggabungan “me-ji-ku-hi-bi-ni-u” yang diajarkan saat kita masih duduk di bangku SD. Coba tebak. Gurita (yang tidak punya akal dan jelas tidak sekolah) mampu melakukan penggabungan itu! Apakah anda berpikir alam mampu mendesain tubuh gurita? Catat pula tanaman Sundew di Afrika Selatan. Tanaman ini mengeluarkan cairan perekat terkuat di dunia yang berbentuk titik-titik embun di daunnya untuk memangsa serangga. Cairan itu mempunyai zat yang mampu membuat ngiler para serangga. Saat serangga hinggap, daun pun melipat untuk menghancurkan serangga apes tersebut dalam sekejap, dan merubahnya menjadi protein untuk sang tanaman yang membuka kembali daunnya dengan mudah tanpa membuat dirinya sendiri melekat. Lalu, untuk intermezzo saja, apakah ini cukup memicu otak kita untuk berpikir bahwa seluruh isi, sistem, dan prosesi keseluruhan alam semesta ini terjadi untuk kepentingan manusia yang seringkali sombong merasa besar dan hebat ini? Ini adalah bentuk lebih lanjut dari adanya pola rantai makanan atas alam dalam rangka meregenerasi dirinya sebagai pusat lingkaran ekosistem. Ini bukan semata-mata proses alamiah yang tidak terencana.

Dalam sudut pandang saya pribadi, mungkin cahaya kunang-kunang, radar gurita, dan perekat Sundew, adalah sebagian dari misteri dan rahasia alam. Sebagai misteri atau rahasia bisa saja keduanya terpecahkan atau bahkan tidak terpecahkan. Seperti halnya teori-teori, saya yakin bahwa ada sebagian misteri yang tak akan pernah bisa kita tau dan alami. Diatas kita, (juga diatas anjing, babi, atau kunyuk), ada Sang Pencipta yang berhak mengizinkan sampai dimana kita manusia bisa mengorek jawaban atas misteri dan rahasia tersebut. Pemecahan misteri dan rahasia (similar dengan teori) itu bisa jadi hanya akan sekedar menjadi angan-angan manusia bila Dia tidak mengizinkannya. Kita tidak bisa menolaknya. Ini salah satu bentuk dari yang di namakan situasi batas. Kita manusia. Belum titik. Kita manusia biasa. Titik.

Realitanya, manusia memang berada dalam situasi yang hanya serba sedikit tau, serba terbatas, dan serba kecil. Bahkan saat diperolok menjadi babi atau anjing dan kunyuk pun kita hanya memiliki sedikit opsi; (1) marah dan menghajar si empunya makian hingga babak belur dan lebam-lebam; (2) tetap santai dan cukup memberi counter sekedarnya; (3) diam saja; atau (4) mengajak berdiskusi tentang “etika memaki” yang malah akan membuang-buang pikiran karena tidak pernah akan selesai. Harap anda tau: jika anda memilih opsi pertama, anda akan semakin tidak bisa menghilangkan stigma makian itu dari benak dan hati si pemaki padahal anda dan dia sesama makhluk mini. Untuk opsi kedua, dengan counter tersebut anda akan menjadi manusia yang manusiawi sekaligus bijaksana yang sadar bahwa manusia itu sama-sama kecil. Opsi ketiga, anda menjadi orang yang tidak bisa membela diri saat anda di kecilkan orang lain. Untuk yang keempat, anda akan saling menjadi kecil dan menjadi bertele-tele.

Manusia itu kecil. Tidak usahlah dipungkiri. Ingin bukti lagi? Simak ini: manusia memang seperti Goliath bagi semut maupun bagi makhluk hidup kecil lain. Tapi kita akan menjadi David bagi gunung dan laut. Kemudian, Bumi yang kita tinggali ini juga bak Buto Ijo bagi Merkurius atau (lebih-lebih) Pluto. Tetapi jangan tanyakan ini kepada Jupiter atau Saturnus. Bumi seperti sebuah bola sepak bagi keduanya. Bagi Jupiter (hampir 10x lipat garis tengah Bumi; setara dengan 86.000 mil) Bumi cuma kunyuk kecil.

Lalu sekarang, di awang-awang, coba sandingkan Bumi dengan Matahari yang bergaris ekuator 864.000 mil. Bumi bagai gundu bagi Matahari, seperti halnya perbandingan jangkrik dan manusia!

Hmmm… masih berpikir dua kali untuk mengakui betapa kecilnya kita? Masih bisa sombong?! Masih bisa mengata-ngatai dan memperlakukan orang lain bak kunyuk? Oke, simak sekali lagi. Apakah anda pernah mendengar Arcturus? Arcturus itu, hmm… saya hampir tidak tidak tega mengatakannya. Matahari hanya bola pingpong di hadapannya!

Bersiaplah lebih terkejut. Saya lebih tidak tega untuk menjelaskan hal yang berikut ini. Apakah anda familiar dengan Betelgeuse dan Antares? Well, Antares adalah bintang terbesar di ruang angkasa yang pernah ditemukan manusia (sejauh ini). Betelguese hanya sedikit di bawahnya. Ingin tau seberapa besar Antares? Begini saja, karena ketidak-tegaan saya, silahkan simak sendiri gambar di atas, dan mari kita lihat apakah manusia-manusia kerdil macam kita ini masih bisa merasa sombong. Salah satu gambar itu lah yang bikin saya eling.

Matahari (ditunjukkan dalam tanda panah putih kecil) yang sebesar itu hanya berukuran sepersekian juta Antares! Bumi, bagaikan Amoeba baginya dan tidak terlihat lagi pada skala itu. Anda bisa bayangkan sendiri bagaimana kecilnya manusia -juga anjing, babi, dan kunyuk- yang tinggal di Bumi seperti kita ini?! Sesama kecil saja kok sombong.

Percayalah, anda tidak akan mau membayangkan bagaimana bila secuil saja bagian Matahari atau Antares pecah lalu menimpa Bumi. Saya pun cukup hanya berani membayangkan seperti apa rasanya saat sebuah meteor (kecil?) bermassa sekitar 10.000 ton jatuh di Arizona dan Siberia berpuluh tahun lalu. Dan anda (saya juga pastinya) akan lebih tidak mau lagi terbayang bagaimana bila sistem pada tata surya tidak ada. Apa jadinya bila planet satu dengan yang lain berbenturan, termasuk Antares! Anda sanggup membayangkan bagaimana nasib manusia jika itu terjadi? Bagaimana sanggup, wong membayangkan diri tersapu Tsunami atau tertimpa reruntuhan dinding akibat gempa saja ngeri! Lalu jika begitu, bagaimana kecilnya kita di hadapan Sang Pencipta? Lalu, apakah solar system alias tata surya juga proses alamiah belaka?! Ayolah, jangan mimpi.

Saya manusia biasa. Bukan pakar apapun juga. Meski pernah menjadi anjing, babi dan kunyuk, tapi saya, dia, mereka, dan kita semua manusia. Manusia yang kecil juga kerdil. Manusia yang sedikit tau dan kerap terbentur dengan situasi batas. Manusia yang serba terbatas. Manusia yang tak pernah akan bisa memilih kapan, dimana, sebagai apa, dan bagaimana akan dilahirkan. Sudah barang tentu juga berarti manusia yang tidak bisa menjawab kapan, dimana, dan bagaimana akan mati. Ini bukan teori, kita yang masih hidup belum pernah merasakan bagaimana menjadi mati. Bahkan sampai pada angka berapa umur yang kita punyai ini pun kita tidak akan pernah tau.

Tetapi, kita ini manusia yang bisa belajar dari semua teori dan pengalaman, apapun bentuknya dan seberapapun kecil atau besarnya, yang pernah kita dengar, dapat, atau baca (atau bahkan yang kita ciptakan sendiri). Lalu kita pun manusia yang bisa bertanya ; apakah kita ini termasuk manusia yang mengharapkan pahala kebesaran dan kehormatan dunia-akhirat tanpa sense kesederhanaan dan sense kerendah-hatian? Apakah kita manusia (bukan anjing, babi, atau kunyuk) yang termasuk ke dalam golongan manusia yang menangguhkan kesederhanaan dan kerendah-hatian hanya karena panjang angan-angan merasa bahwa kita ini besar dan seolah tau kapan akan mati? Bukankah sesungguhnya kita adalah manusia yang bisa menjadi anjing, babi, atau kunyuk? Atau kita kah manusia yang sadar bahwa kita kecil dan tidak ingin bertambah kecil dengan cara mengurangi kekerdilan-kekerdilan yang sering kali kita ciptakan sendiri? Janganlah menambah kecil hakikat kita dengan kekerdilan-kekerdilan. Manusia itu cuma makhluk kerdil yang terkadang hanya bisa menjadi anjing, dan babi bahkan kunyuk bagi satu sama lain.

Daru Dewanto, April 08

Senin, April 07, 2008

Melamun Puisi

Laut merah
Sobatku dari luka memanggil
Namaku awan
Pekik-memekik
Berteriak-teriak hujan
Namaku awan
Bila cerah aku tak ada

**

Namaku juga pasir
Karibku ombak
Menggapai-gapai
Menyebut-nyebut Bulan
Datang
Riak
Dingin
Ombak
Namaku juga pasir
Bila terang, aku tenggelam

**
Aku bangun
Hilang tempat pembaringan
Aku mau tidur
Mimpi tergantung di langit-langit
Hanya berani segitu
Secuil
Mataku pulas
Tangan terangkat
Jari-jari menyentuh langit-langit
Lullaby
Aku mau tidur
Tenang
Tenang
Tenang
Awan meniup mukjizat
Nada
Gaung
Gema
Rensonansi
Mengambang
Awang-awang dan langit-langit

**

Ini pesawat kertas
Terbang tak tinggi
Belum sampai langit jatuh sudah
Langit itu jauh...

**

Banyak cara kita jatuh
Sedikit cara diri bangun lagi
Semua seperti tebing curam
Kita si pendaki
Dengan kaki dan tangan
Pasung
Hati si penunjuk
Asuhlah
Asah
Larung
Pasir
Awan
Bulan


Daru Dewanto, April 08

Guru, Guru...

Di negara kita ini, banyak sekali guru-guru yang nggak akan pernah mau ngaku jadi guru. Sumprit! Oke lah, memang bukan betul-betul guru. Tapi kalau ada sosok yang di gugu dan di tiru, dia akan juga menjadi guru. Ya tentu yang saya maksud bukan guru SD, SMP, SMA, atau SMK dan STM! Ini jenis guru lain yang muridnya meluas sampai desa, nggak teridentifikasi oleh pemerintah dan karenanya enggak mampu mengendalikan. Lha kalau pemerintah saja bisa nggak tahu, kan ajaib?! Mari kita sebut saja guru ajaib. Kalau mau belajar bisa diatur. Tidak perlu suap biar menang eksekusi tanah, sediakan “uang perkara” dan wuuush... perkara anda menang! Yah, paling hanya uang sekedarnya bila kita ngurus tilang di jalan. Satu lagi, anda cuma harus tahu orientasi “bidang studi” yang di kuasai oleh masing-masing guru yang saudara kehendaki.

Mau jadi terkenal? Daftarkan diri anda di kontes-kontes bakat yang tersebar di TV. Sayang sudah nggak ada lagi kontes da’i komersil itu. Kalau anda merasa cukup gagah atau cantik, masuklah agensi model dan 95% anda akan beruntung. Saya dan istri saya jelas nggak mungkin. Saya gundul ala pacul. Istri punya bibir item. Belum lagi rambutnya merah kepanasan. Mau jadi pengacara sekaligus selebriti? Yang ini mudah... ditanggung langsung kaya. Silahkan ngutang terus beli titel hukum, ajukan perizinan C.V, cari anak buah yang mau bekerja mencari order dari orang terkenal, dan anda akan mereguk sukses tanpa perlu peras peluh seperti anak buah anda dan bahkan tanpa penguasaan praktis dan pragmatis ilmu hukum. Mau belajar cara biar korupsi tapi nggak ketahuan? Nggak salah lagi, anda harus cari para Bapak-Bapak Dewan atau para buronan yang raib entah kemana itu. KKN jaman sekarang sudah semakin canggih dan terang-terangan. Di legalkan dalam bentuk peraturan dan Undang-Undang. Lihat saja dana komunikasi, dana pembuatan Undang-Undang, peraturan gaji pejabat DPR yang menyentuh langit, dan lain-lainnya. Buat anda yang biasa-biasa saja seperti saya sepertinya susah karena harus mengeluarkan investasi besar untuk ilmu ini. Hmmm… waduuuh saya tambah pinter. Tapi saya mau belajar cuap-cuap tukang obat eeh tukang janji aja, menghimpun massa, lalu bikin partai. Rakyat mah nanti, yang penting kaya, di layani masyarakat, dan bisa poligami. Eh, jangan poligami. Gitu-gitu saya sayang sama istri saya. Bersedia belajar cara menjadi aktor mahir untuk peran sakit? Amboi, ini remeh betul. Amati saja sebagian besar pejabat yang langsung sakit kalau diperiksa. Nggak perlu registrasi mahal-mahal pada sang guru untuk semuanya ini, karena para guru nggak nyadar bahwa mereka di gugu dan di tiru. Cukup pelototi TV anda dan, bila anda sudi melestarikan budaya bangsa, sediakan catatan untuk warisan anak-anak anda kelak dari sinetron, gosip, dan acara-acara murahan. Eits, jangan. Saya guyon.

Siapa orang pandai cuma sedikit di Indonesia?! Yang saya sebutkan tadi cuma selintas saja. Kalau saya tulis sekarang, bisa habis tenaga saya hanya untuk mengetik dan bermesraan dengan istri saya. Habis pula tenaga saya untuk ngajarin anak saya membaca. Saya mau dua anak saya melek buku. Tidak seperti buyut-buyutnya yang untuk bisa sekedar baca-tulis saja mimpi karena sampai ajal dana programnya terus menerus di “budi-daya”kan sejak jaman tapal besi.

Sekarang, saya berikan guru yang bisa bikin anda -di jamin- di turutin banyak orang. Mau? Belajar saja ke bintang sinetron yang hari ini main sinetron, besoknya model. Yang hari ini model, besok presenter. Yang hari ini main sinetron, besok menyanyi. Yang hari ini menyanyi, besok bintang iklan, dan besoknya main sinetron lagi ato melawak. Satu contoh lagi, ingin agar anda menjadi pionir bahasa-bahasa baru? Pelototi sinetron dan infotainment, dan niscaya anda akan langsung ahli berbahasa ala "pacar aku", karena "pacarku" sudah kuno, atau "mobil aku" karena "mobilku" menurut EYD itu gak gaul. Lalu dengan segera anda akan mengatakan : secara bukan gue banget gitu looh!

Daru Dewanto, April 08

Sabtu, April 05, 2008

Halal Haram, Hantam Bleh!

Anda pernah bokek? Ah, anda yang kaya nggak usah pura-pura merendah. Sebokek-bokek pengakuan anda, anda masih bisa mengisi perut dengan uang sendiri. Masih bisa beli korek kuping walaupun tetap “budi” (baca: budeg dikit) mendengar suara naga -bukan cacing lagi- di perut busung si miskin yang stress karena mahalnya “harga” hidup. Anda yang mampu, enteng saja mencaci si miskin pengutil susu di supermarket demi sang buah hati. “Kan masih ada kerja lain yang halal?”, begitu pasti kata anda. Anda mungkin sedang semaput, enggak sadar bahwa untuk bekerja dengan penghasilan cukup mereka butuh titel, dan titel dengan angkuhnya hanya bisa di dapat oleh orang kaya atau paling banter ngutang. Butuh relasi, tapi relasi mereka level teri. Anda lagi teler, enggak nyadar bahwa bekerja pun, mereka masih harus rela ngutang lagi untuk tambahan sekolah anak. Nah, terus kalau saya tanya soal bokek itu sama si miskin, bisa-bisa saya malah di maki-maki. Jangankan korek kuping, wong mikir besok bisa makan atau tidak sudah takut. Syukur kadang saya bisa punya uang, meskipun tidak jarang saya benar-benar bokek. Saking bokeknya, bokek…kek…kek, sampai kadang muncul keinginan menghalalkan yang haram. Untung istri saya enggak suka minta macem-macem. Paling-paling gincu untuk memoles bibirnya yang item. Anak saya, paling minta beli permen. Dua-duanya pun cuma bisa yang murahan, yang sering palsu dan kadaluarsa. Biarin lah, biarin bibir jontor. Lha, mau gimana lagi, wong pilihan buat kita sedikit. Untuk yang palsu pun butuh rejeki ekstra. Ini buat saya yang masuk kategori biasa, lho. Anda yang jauh lebih mampu tidak perlu mencibir. Tanya apa pernah anda memandang dari kaca mata orang miskin. Tapi kesadaran spiritual saya (syukurlah saya di berikan itu) kerap kali bangkit menghajar keinginan impulsif saya itu.

Bicara kesadaran spiritual, halah, gombal! Tapi betul, kan? Saya bisa selami seberapa frustasi orang berekonomi ecek-ecek yang masih ketiban bokek. Halal dan haram menjadi tipis, setipis kondom Sutra. Anda yang mampu, mudah saja untuk mengutuk dan memberi label tidak berperi-kemanusiaan pada Ibu yang membunuh anaknya karena jadi kelainan jiwa oleh kuatnya jepit kemiskinan. Anda yang sangat jauh lebih mampu, silahkan berpikir untuk apa anda mengumpulkan kekayaan. Jika ada tetangga anda mati kelaparan, bunuh diri, atau membunuh anaknya karena gila oleh ketidak-sanggupan membeli mahalnya hidup, lihat baik-baik di mata tetangga anda itu. Bila anda masih membumi, anda bisa melihat kesenjangan struktural dan betapa tipis pembatas halal dan haram karena minimnya intelektualitas spiritual dan pendidikan di dalamnya. Anda yang mampu dan intelek aja sering mendadak gagap membedakan halal atau haram. Pikir lagi, tujuan anda jadi kaya itu apa, padahal sementara itu, jutaan perut semakin lapar. Yang babak-belur oleh kemiskinan tambah bonyok karena dengan menjadi pengutil kelas coro ia beresiko di gebukin dan di bakar! Padahal mungkin yang ikut nonjokin itu pedagang yang suka tipu sana tipu sini pada pembeli. Barangkali yang membakar itu broker jasa masuk PTN atau broker perdagangan wanita yang di jadikan “ayam” ekspor ke negeri seberang. Akhirnya, Ketidak-adilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Saya tidak sedang menjadi pengacara si pengutil atau si pembunuh. Saya hanya maju tak gentar membela yang benar. Keduanya salah, tetapi itu terjadi karena kesalahan yang juga terjadi di atas semuanya. Mungkin termasuk saya, penanggung jawab fakir miskin dan anak terlantar yang di namakan negara, anda, Mbakyu, Nenek, Teteh, Om, Aa’, dan lain-lainnya. Halah, gombal maning! Maning-maning gombal. Saya bukan da’i di televisi yang nyaris serupa selebriti. Tapi saya cinta pada ulama “door to door” yang menyambangi seluruh pelosok ruang-ruang “hampa” tempat para bokek itu tinggal. Saya enggak berusaha jadi manusia paling ideal apalagi malaikat. Saya ini orang biasa yang kala-kala tidak eling bila sedang tidak bokek. Saya orang biasa yang kadang lebih rela membeli daripada memberi. Tapi saya rindu betul pada sosok negarawan yang bisa mengokohkan kesadaran sosial saya untuk memberi. Kangen pada sosok ulama dan da’i bersahaja yang menguatkan kesadaran spiritual saya supaya eling dan waspada terhadap virus 3HB, Halal Haram Hantam Bleh! Sikaaat! Saya rindu kaum kaya yang bisa melihat kaca-mata kaum papa dan melihat kekayaan sebagai kelebihan yang harus di bagikan. Saya juga rindu pada kaum papa yang mau tawakal dan sabar menahan diri untuk tidak meledak melihat kesenjangan dan ketidak-adilan yang menganga mirip mulut naga kelaparan. Halah, gombal mukiyo!

Daru Dewanto, April 08

Jumat, April 04, 2008

Ideologi Keberanian

Seminggu gak bisa tidur ueenaak. Jangankan ueenaak, enak aja gak bisa! Otak saya di penuhi hal-hal aneh dan bawaan masa kecil. Kata Ibu saya, gak bisa tidur itu minum susu. Tapi jujur saja, seumur gini masih bujangan, ya jelas susunya lain doooonk huahahhaaaaa....balik lagi, pikiran2 segala macem tumplek meluap, mulai pengen nikah, pengen bikin dan punya anak, susahnya mau cari duit jujur, susahnya jadi orang yang bisa dianggap orang, dll aja lah! mumet!

Tapi ada juga pikiran2 tentang negara lho, jangan salah... orang miskin yang di cuekin, beras yang tambah selangit dan melangit, sembako yang gak membumi, aset yang di keruk sama asing, peraturan2 legalitas yang "korup", gubernur BI yang bakalan jadi puyeng ngurus PR yang seabrek-abrek, sampai ideologi keberanian Bu Menkes. Nah, ini yang akhirnya nyantol dan kebawa sampe Subuh!

Berani. Akhirnya jadi susah untuk menginterpretasikan berani. Hmmm... termasuk berani pada ketidak-adilan kan mestinya?...bagus juga! tapi apa berani bela TKI yang di injek-injek kayak keset? apa berani bela maling ayam miskin di pengadilan dengan bayaran brutu ayam? apa berani nolak 6 milyar biar keadilan terjadi? nah lho, nah lho....nah lho, nah lho... trus berani itu gimana ya? apa nyolong atau bunuh diri untuk hidup buah hati yang kurang gizi itu berani? apa pengemudi yang terang2 salah tapi malah ngeyel dan bentak2 itu berani?

Malem kemarin itu hari di mana saya bisa tidur enak dan tenteram. Damai dan sejahtera. Aman dan makmur. Karena saya pun berani. Berani ngaku salah sama pacar saya karena kadang saya nuntut terlalu banyak tapi gak ngaca kalo dia gak pernah nuntut saya. Berani ngaku salah sama ponakan saya karena biarin dia nonton tivi yang full sinetron dan gosip. Saya juga berani nolak ajakan beberapa orang temen2 yang pengen ngajakin bisnis judi bola. Berani untuk bilang "ah, mendingan tidur biar gak kesiangan bangun dan gak telat ngantor" meskipun di kantor gak betah soalnya penuh orang korup...

Selasa, April 01, 2008

Fitna dan Wilders, Fitnah dan Gendheng

Memang gendheng itu Meneer Wilders. Kata Mas Budiarto Shambazy dari Kompas (1/3), Wong Edan Ra Kato’an. Saya sok panggil Mas sajalah, meskipun enggak kenal. Tapi kalo di tilik dari namanya, Wilders, mestinya ada unsur “wild” bukan “crazy” alias gendheng alias gila alias sedheng. Mungkin karena saking liarnya jadi gendheng.

Memang fitnah betul film buatan anggota parlemen Belanda itu. Juga gendheng. Sungguh-sungguh memanipulasi arti kebebasan pers. Mungkin bikin film asal comot itu sambil nggak pake celana. Apalagi celana dalem. Mungkin interpretasi ngawur dan sepihak itu di buat saat dia sedang di WC lagi gak kato’an. Karena hal-hal yang dia shoot adalah hal-hal kotor, keji, dan fitnah yang tidak benar tentang Islam. Enteng nian dia berkata bahwa dia tidak membenci kaum muslim, tetapi membenci Islam. Wah, untung ente di Belande. Kalo di Indonesia bisa kaga pake celana beneran lu! Ah, tapi barangkali dia cuma cari sensasi saja biar top markotob sekalian belajar jadi gila. Karena udah liar, mungkin dia kepengen jadi gila. Memang menurut Islam, darah orang kafir yang menghina Allah dan Islam adalah halal. Tapi mau gimana lagi, dia sibuk ngumpet di balik ketiak para bodyguard. Bukan hanya kelek, kata orang Jawa, mungkin juga di balik bokong. Bokong yang gak pake celana dalem. Mending kita doakan saja semoga Allah memperingatkannya atas dosa besarnya tapi sekaligus juga mengutuk dia jadi kodok. Kodok ga kato’an. Kan lucu.

Wong gendheng gak kato’an kata orang Surabaya dan sekitarnya. Ya edan ra kato’an itu tadi. Orang gila ga pake celana. Tapi saya heran. Sehari-harinya, si Meneer masih pake celana, tuh. Mungkin ga pake celana dalem aja kali. Cuma kolor doank. Kalo itu sih, Burung Si Gila yang kondor.

Nonton Sepak Bola Dapat Tinju

Siapa yang nggak suka liat lakon dan ikon sepak bola seperti Kaka, Raul Gonzales, Lionel Messi, Steven Gerrard, Alessandro Del Piero, hingga Samuel Eto’o beradu gocek, beradu otak, dan beradu kreasi demi gol? Siapa yang nggak melongo melihat penyelamatan brilian ala Peter Cech, Ikker Casilas, hingga Gianluigi Buffon? Buat kaum hawa, siapa sih yang nggak suka menyaksikan ketampanan David Beckham, Del Piero, sampai Francesco Totti? Sepak bola. Olah raga paling populer, (di sebagian benua) prestisius, dan merakyat yang ironisnya justru kian susah di mainkan oleh rakyat karena lapangan bola habis di gasak Mal, sentra bisnis, atau perkantoran. Merakyat, tapi sangat sedikit pengidola pemain lokal. Merakyat, hingga di bodoh-bodohi kayak rakyat. Sepak bola. Olah raga murah yang untuk 11 orang hanya butuh patungan satu bola plastik, sering tanpa sepatu, kostum, gawang permanen, bendera hakim garis, atau peluit. Sepak bola. Begitu murah, sampai-sampai di anggap murahan dan sepele. Bisa di atur dari balik bui. Macam bandar narkoba saja. Sepak bola. Terlalu populer sampai di lapangan kampung saya yang berubah jadi tanah ada 13 lawan 13. Olah raga meriah penuh sorak sorai bergembira. Meriah karena bisa nonton tiga cabang olah raga sekaligus. Sepak bola itu sendiri, tinju, dan balap lari. Eh, salah. Kadang saking meriahnya bisa empat cabang. Plus lempar lembing.

Kamis, Maret 27, 2008

Sensor Pornografi di Internet

Bagus! Pemerintah, melalui Rapat Paripurna yang di pimpin oleh Ketua DPR dan dihadiri oleh Menkominfo, memastikan bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik akan di berlakukan mulai 1 April 2008. Regulasi adalah counter penahan (baca: sensor) laju kencang akses situs-situs negatif di dunia maya Indonesia. Meskipun juga menertibkan perjudian dan pencemaran nama baik, gaung yang kencang di permasalahkan adalah pornografi. Sudah jelas akan ada pro dan kontra, dan akan terlihat siapa kawan dan siapa lawan. Ya jelas bukan lawan dalam arti harafiah adu jotos hingga bunuh-bunuhan. Paling-paling gontok-gontokan mirip kasus Pilkada. Paling-paling kayak anak kecil rebutan permen.

Kawan adalah pribadi yang care pada seseorang lain atas hal-hal buruk yang mungkin menimpanya, dalam hubungan personal. Bisa juga berarti empati kepada pihak lain tanpa mengenal adanya hubungan personal dan di simbolkan dalam ungkapan “kawan” atau “saudara”. Kalo begitu lawan adalah sebaliknya, lu-lu gue-gue dan bahkan nyukurin terhadap apapun hal buruk yang akan terjadi pada orang lain entah dalam hubungan personal ataupun sekedar empati. Dalam konsep ini, bisa di samakan dengan good and evil.

Saya pro terhadap Undang-Undang ITE dan saya tidak takut mendeklarasikannya. Saya bukan malaikat. Saya jauh dari model manusia paling ideal. Rasul lah manusia paling ideal. Baik moralitas, religiositas, psikologis, hingga sosiologis. Dalam orientasi seksual, saya straight alias laki-laki tulen yang nggak doyan waria dan nggak doyan pedang-pedangan! Dus, saya tidak mau menjadi hipokrit. Sebagai pria normal, saya jelas horny nonton wanita telanjang di internet. Saya juga “tegang” melototin sekaligus dengerin desahan perempuan “di hajar” oleh satu-dua atau tiga pria. Normal, walaupun saya lebih suka permainan singel hueheheheheeee… Tapi kenapa saya setuju sensor dan seakan bermuka dua? Karena saya adalah kawan saudara-saudara sebangsa. Saya ikhlas nggak “tegang” oleh situs porno kalau taruhannya adalah bangsa. Saya justru bersyukur bisa “tegang” sampe puas hanya dengan istri sendiri. Saya bukan pahlawan. Lebih pahlawan para penyapu jalan. Lebih heroik para TKI yang jujur yang sering di cuekin pemerintah. Lebih patriotik para guru yang tulus mengajar di pedalaman dengan gaji secuil. Saya tidak rela anak saya kelak (semoga diberi) dan anak-anak lain ngiler sama situs yang bikin deg-deg-serr itu. Pertama main internet, nemu mainan baru, kemudian keenakan “anu”nya bisa berdiri trus mainin “anu”, trus akhirnya praktek main “dokter-dokteran”.

Sampai di situ saya care dan mendukung Undang-Undang ITE ini. Ini menegaskan bahwa saya adalah kawan. Buat para lawan, tanpa kemauan adu jotos, saya mau tanya dulu deeeh… ehmmm, apa nggak ngeri bayangin putra/putrinya ngumpet-ngumpet browsing situs porno dengan raut muka yang berangsur jadi mesum? Apa kita sepakat bahwa kita mengaku bangsa beragama tapi film uh-ah hasil unduhan bersampul ala Naruto itu ada di lapak-lapak depan sekolahan?! Apa tega melihat ratusan berita gadis kecil dicabuli gara-gara situs porno? Liputan 6 SCTV, Rabu sore (26/3), meliput fakta mencengangkan. Seorang anak kelas 3 SD dan banyak anak lainnya kecanduan situs porno. Kelas 3 SD! Nah, lho…

Mayoritas penghuni bangsa ini belum dewasa untuk siap menerima globalisasi model itu. Jangan justru mengatakan sebaliknya. Sebuah artikel di satu surat kabar terkemuka Indonesia menulis: “Kasihan bangsa kalau ada sensor internet. Kasihan bangsa ini, susah benar mau maju”. Apa nggak kebalik? Kalo saya pribadi, justru kasihan bangsa yang belum maju ini di cekokkin pornografi yang seolah semua umur dan anytime anywhere itu. Kalau mau maju dan jadi dewasa, bukan dengan pornografi donk… tapi pola pikir dan pola sikap. Wong jadi dewasa dan maju dengan mau menerima kekalahan dalam Pilkada atau sepak bola saja, di luar kecurangan yang mungkin terjadi, susahnya minta ampun. Sesulit jadi dewasa dan maju untuk menyadari program-program gosip menjurus fitnah dan sinetron ecek-ecek di tipi itu juelek nggak ketulungan.

Menurut Mohammad Nuh, sang Menteri, mari kita gunakan logika terbalik. Katanya, “berikan saya alasan yang kuat bahwa untuk bisa menumbuh-kembangkan bangsa ini adalah melalui pornografi, dan berikan saya alasan kuat bahwa untuk memajukan bangsa ini adalah dengan bau kekerasan”. Ini logika hebat. Bravo Bapak Menteri! Saya tidak menjilat. Insya Allah, obyektif saja…

Iran, terlepas dari asas Islam dan model demokrasinya yang unik, melakukan pelarangan terhadap pornografi sejak jaman kuda. Program-program remeh-temeh seperti infotainment dan gosip pun sangat ketat di batasi. Fact: Iran lebih maju dari Indonesia. Cina, diluar paham komunis yang semua aspeknya di kendalikan pemerintah, melakukan sensor melalui router backbone nasionalnya. Fact: Cina amat-sangat-sekali jauh lebih maju buangeet! Kenapa bisa begitu? Karena sebagai bangsa mereka punya apa yang dinamakan ruh. Kita enggak punya itu. Percaya deh, bangsa yang tidak punya ruh akan jadi bangsa yang mudah terseret, terombang-ambing, di remehin, di jadiin keset, dan nantinya huancur luebuurr! Modernisasikan dulu pola pikir dan pola sikap biar bangsa ini dewasa, maju, dan punya ruh. Setelah itu, walaupun tetap akan saya anggap lawan, baru boleh lah memajukan diri dengan gaya hidup ala globalisasi macam itu sesuai dengan kadar pola pikir dan pola sikap tadi.

Bung, demokrasi bukan kebebasan ekspresi gila-gilaan lho. Reformasi semestinya bukan menjadi simbolisasi euforia kebablasan. HAM adalah produk bagus yang sayangnya kerap kali kita membabi-buta dan too liberal dalam memaknainya. Kalau para kawan sensor di sebut melanggar HAM karena mengebiri hak horny orang lain, lalu para lawan sensor apa nggak melanggar hak orang lain untuk tumbuh baik dan benar? Adalah kewajiban negara melindungi warganya dari apapun yang tidak baik dan tidak benar. Sebagaimana negara wajib melindungi warga dari potensi kemiskinan struktural, menjaga gap kesenjangan, memberi makan warga fakir dan dhuafa, melarang perjudian agar tidak semakin merajalela, dan kewajiban-kewajiban lain. Seperti juga agama menjaga pemeluknya supaya awas dari praktik dan “piktor” kemaksiatan. Seperti juga Pak Kusir mengendali kuda supaya baik jalannya, tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuuk… Ini memang kayaknya gombal. Tapi, betul kan?

Buat Pak Nuh, bismillahirrahmanirrahiim! Asal jangan situs-situs kritis yang intelek dan progresif ikut di berangus ya Pak! Asal juga jangan dengan dalih pencemaran nama baik, situs yang potensial memberi masukan dan kritik cerdas jadi di bungkam. Setuju kan, kawan?

Daru Dewanto, Maret 08

Senin, Maret 24, 2008

Langit Yang Akrab

O’ langit yang akrab dengan bintang yang karib
Aku bukan pengkhianat
Kuseru teriakku dalam diam

O’ langit yang akrab dengan bintang yang karib
Kupuja atas nama sepi di keramaian
Bila pujaku tak sampai, biarkan Malaikat mendengar

Jogja, March 08

Bulan Di Atas Kepala

Bulan Separuh Diatas Kepala

malam baru sepenggal ketika mengiris sinarnya
terbelah membiaskan warna-warna cinta akrab menjelang tidur
menunjukkan diri pada semesta punya kita di sini
dari peraduan kita yang membelai rambut
membuai mimpi-mimpi tentang malam
dalam ruang-ruang kecil misteri dengan berbagai peran

taukah apa yang kulihat dalam gelap-gelap dalam ruang kecil itu?
pintu-pintu baru yang setiap saat bisa kubuka tanpa amarah
pintu-pintu yang ingin menyapamu masuk
walau hanya sinar separuhnya mengintip di kisi-kisinya
saat elok cahayanya kusimpan di mata yang terpejam
meskipun hanya itu sekarang akan kuceritakan
di atas kepala ini sebagian diri terbang mencapainya


Bulan Penuh Diatas Kepala

jelas terang di atas bujur dan lintang
bulan penuh rupa cantik tanpa satupun aral
mempersilahkan langit menggelar bintang
kuning kemerahan dan putih
menyembul di koridor mimpi yang samar
jiwamu pasti melihat meskipun mata tertidur
karena kuceritakan semua yang terjadi

tahukah yang kurasa bila bulan bergerak menjauh?
kesederhanaan dan kemanusiaan
mengertikah yang kuharap bila arakan awan tebal dan gelap?
keakraban kurindu agar kita terpuji
berpijar seperti rupa-rupa cantik di atas kepala

(daru dewanto)






Sabtu, Maret 22, 2008

Dewi Cinta Itu (Bukan) Seorang Bajingan

Betul-betul sulit untuk mengerti cinta. Buat saya terutama. Secara konseptual, saya bisa berkata ini-itu saat memberi masukan positif kepada teman atau sahabat. Begitu juga orang lain terhadap saya. Tetapi di level praktik, sangat abstrak dan berbeda dengan konseptualnya. Ya seperti lukisan-lukisan itu, abstrak. Saya sih cuma seneng liatnya aja. Maknanya, ya nggak tau. Cinta, dalam teori dan prakteknya seperti kucing dan anjing atau air dan api. Kayak teori dan praktek di dunia perkuliahan adik saya. Campur aduk kayak lotek, encer macam tahu gejrot, dan tak jarang lebih sering terkotak-kotak kayak korek jress. Sudah kotak-kotak, dalamnya masih tercerai-berai dan jumlah di tiap kotaknya nggak sama. Singkat kata, cinta dan mencintai itu masih selalu berada dalam misteri ranah Ilahi yang hampir selalu berbeda dengan konsep yang di interpretasikan oleh manusia. Itu saya rasakan sendiri. Saya berkomitmen dengan satu orang A (istri saya), namun saya mencintai satu orang B dan hanya satu itu. Sementara, orang B yang saya cintai, terlepas bahwa dia pun telah memiliki komitmen dengan orang selain saya, mengaku belum bisa merasakan mencintai seseorang. Dengan berkomitmen terhadap A, saya terus belajar untuk mencintai hingga bisa sebesar cinta saya kepada si B. Namun seringkali saya merasa menjadi seorang hipokrit. Kalau tidak salah, dari yang pernah saya baca waktu di Perpustakaan Keliling, hipokrit itu serupa dengan munafik. Saya hanya mau jujur kok. Tapi karena kejujuran kini menjadi salah satu komoditas yang bisa di perjual-belikan, saya nggak lagi memakai kata jujur. Kejujuran dewasa ini seperti make-up istri saya. Kadang saya risih ketika harus mencium bibirnya saat bergincu. Padahal sih, bibirnya aslinya item. Tapi saya lebih suka melihat substansi. Wah, boleh juga saya ini. Kejujuran, kini adalah sebuah kosmetika manjur untuk memikat hati seseorang, dan seseorang dengan mudah membeli kosmetika itu. Cara lu jual bagus, gue beli. Untuk itu, saya akan memakai kata amanah.


Kata orang bijak, cinta itu sederhana dan biasa. Cinta adalah keadilan. Mencintai itu lantunan puisi jiwa seseorang, sementara puisi itu sendiri menyentuh titik terdalam dari kalbu dan rasa manusia. Ehem, Perpustakaan Keliling memang oye! Saya jadi bisa kayak pujangga. Tapi ini karena saya serius. Mencintai itu berarti menyelami jiwa seseorang dengan kesederhanaan secara adil. Semestinya tidak ada satupun komponen dari cinta itu yang rumit ujung-ujungnya komersialisasi kejujuran. Lalu, apa yang salah? Kerumitan yang orang pilih untuk mencintai. Sederhana saja kok. Jangan mendikte Tuhan dan jangan memandang manusia ciptaannya hanya dari “kulit”nya. Artinya, barangkali Tuhan menghendaki manusia menimbang pada inti. Jangan pula meremehkan hasil karya teragungNya itu sebab saya percaya pada Kemaha-besaran Tuhan yang tidak akan menghendaki manusia untuk melihat seseorang hanya dari “make-up”. Dulu saya membayangkan bahwa saya tidak akan bisa hidup dengan orang lain kecuali B dan memprotes keadaan yang tidak mendukung idealisme saya itu. Sampai disitu, saya pun jadi egois. Tapi sekarang, saya membayangkan bahwa saya bisa mencintai dia sebagai sahabat dengan tulus dan amanah, saya merasa mencintai dengan sederhana dan adil. Sungguh, Dewi Cinta bukan seorang bajingan. Kemudian saya akan terus belajar mencintai pasangan saya dengan komitmen yang sudah menjadi produk pemikiran yang akhirnya keluar dari mulut saya. Itu amanah.


Sekarang, mencintai tidak lagi menjadi sederhana dan biasa. Kata pengajian kampung malem Jumat, orang menggali dan terus menggali di lubang yang salah. Orang lebih suka mencari-cari merk dan harga kosmetik seseorang serta tidak luput mencari tau dimana bisa mendapatkannya, ketimbang membaca puisi jiwa dan amanah seseorang itu. Orang lebih girang pada tampilan eksterior rumah yang wah ketimbang inti fungsi rumah dan kondisi penghuninya. Jadi, siap-siap aja menerima kejujuran yang penuh make-up kayak waria, atau seperti PSK pencari orang-orang yang hidungnya belang-belang kayak zebra itu. Cinta sekarang jadi santapan harian yang komersil. Sekarang saya baru ngerti makna “cinta adalah juga tragedi” yang di katakan orang bijak. Kini, orang mulai meninggalkan rasa mencintai yang sederhana hanya karena terpukau kosmetika. Tak ada lagi Mas Romeo dan Jeng Juliet. Shakespeare ke laut aja. Dewi Cinta itu seorang bajingan.


Daru Dewanto, Feb 08