Sabtu, Agustus 16, 2008

MERDEKA...!!

Indonesia merdeka. Enam puluh tiga tahun merdeka dari perang melawan kolonialisme dan imperialisme kaum Londo. Saya maksud perang fisik. Saya bertaruh pada jaman itu lahan untuk bambu pada gundul. It is worth it. Saya berani jamin hampir 100%, bambu gratis dibagikan atau di cari sendiri tanpa butuh HPB (Hak Pengelolaan Bambu) untuk di serut runcing ujungnya. Bukan untuk layang-layang. Instruments of war for free. Perang. Jihad fi sabilillah. Syahid. Saya juga berani jamin, banyak sukarelawan gratis mengangkat bambu-bambu siap pakai. Saking banyak, bambu habis. Batu juga jadi. Tangan kosong pun boleh. MERDEKA!!.

Saya jamin sekarang, hampir 100%, jangankan dengan bambu, dengan mulut pun kita tidak berani menentang itu Si Imperialis. Yang terjadi adalah, Londo itu hebat. Maju. Terhormat. Parlente. Modern. Keren. Trendy. Kita minder oleh Londo. Hebat. Pintar. Kita bodoh. Di bodohin. Di sanjung untuk kebodohan dan ketida-beranian sendiri. Lemas. Lunglai. Tidak berdaya. Letoy. Dengkul copot.

Sama saja. Kita punya maling, Londo juga punya. Kita jujur, ada Londo jujur. Kita copet, Londo copet pun ada. Kita preman, Londo juga punya preman. Kita bodoh, banyak pula Londo tidak bisa baca tulis. Kita pintar, Londo pun sama. Otak kita nomor satu. Berapa banyak medali olimpiade otak kita menangkan?

Kita kagum pada pembangunan negeri Londo. Buta mata kita. Ngiler pada modernisasi para Londo. Buta hati kita. Berkhayal pada gaya hidup globalisasi Londo. Buntu pikiran kita. Berjingkrak pada sistem politik produk Londo. Mampet intelektualitas kita. Mulut diam. Plester. Lakban. Gembok. Kawat berduri. Pistol di kepala. Russian Roullette.

Kemerdekaan untuk sadar bahwa Londo tidak jauh lebih inferior. Kemerdekaan untuk mengobrak-abrik "penjajahan" Londo. Kemerdekaan untuk membuka gembok di mulut lalu mengatakan "Jangan Injak-Injak Tanah Air Kami". Kita belum (atau tidak?!) berani. Prajurit Londo sudah pernah merasakan keberanian kita sejak beratus tahun lalu. Belakangan, memble. Ingus Si Temon meler untuk mengangkat perlawanan dari sudut hati. Kita meneteskan iler (baca: bahasa jawa, "ngowoh") lihat jerami-jerami imperialisme para gembala sapi. Ambil jerami. Rumput. Sapi lapar. Makan rumput. Enak. Gratis. Sumber daya tenaga habis tapi perut kenyang. Beres. Tidak usah mikir. Idealisme bikin hidup susah. Ada si Tuan Gembala. Aman.

"MOOOO!...(baca: jerami segar!)...", kata gerombolan sapi. "Gleg..."
"Saya orang punya jerami, kamu sapi saya kasih makan"
"Kamu sapi punya susu. Saya orang punya jerami"
"Kamu sapi punya kulit. Saya orang punya jerami"
"Kamu sapi punya tenaga. Saya orang cukup sedia rumput"
"Kamu sapi punya daging, kikil, buntut. Saya orang punya...hmmm...jerami lagi tidak apa-apa?"
"MOOOO!...(baca: cepat tambah jeraminya Mister!)", para sapi gelisah. "Gleg..."
"Kamu sapi marah?! Jangan...ini saya kasih jerami lagi. Satu truk"

Itu sapi. Jiwa binatang perah. Kemerdekaan untuk membangunkan jiwa dan ruh syahid, terpendam oleh pecut gembala sapi. Kita tidak berani. Hanya segelintir. Secuil. Seiprit. Jiwa binatang perah. Ruh obral. Hanya berani bilang merdeka seremonial. Pecut diayun, diam. Beraninya itu. Pengecut. Keder. Cemen. Kelas teri. Coro.

Pak Teuku Umar dan Bu Tjut Njak Dien nangis. Pak Pangeran Diponegoro nelangsa. Daeng Hasanudin prihatin. Bung Tomo malu. Nanti mereka bangun dari tidur panjangnya lalu memberontak. Makar. Kita bilang idealisme kebablasan. Pahlawan kesiangan. Pemberontak. Kita ganyang mereka karena bilang MERDEKA!!.

BUAT TANAH AIR >>
TENANG, MASIH ADA RUH DISINI... MESKI SEGELINTIR, MERDEKA!

Tidak ada komentar: