Selasa, April 08, 2008

Antara Manusia, Kunyuk, Antares, dan Alam Semesta



Suatu hari sebuah mail masuk dalam kotak email saya, berisi gambar-gambar planet di Alam Semesta. Bagai menohok diri saya, email itu menyadarkan betapa cilik, mini, dan kecilnya saya. Saya jadi eling. Saya manusia. Ecce Homo, menurut pengakuan Friedrich Nietszche. Kita semua manusia. Meskipun masih saja ada yang begitu gemar menunjuk asu alias anjing atau babi pada orang lain, tetap saja kita manusia. Soal yang demikian, itu pengalaman kita sebagai objek, subjek, dan (hanya) aktor kecil dalam interaksi sosial dan ekosistem human being secara khusus, dan alam semesta secara umum. Walaupun saling mengecilkan, dalam habitat manusia kita sama. Namun dalam ekosistem alam, kita kecil. Lalu, meskipun kebanyakan dari kita pernah mempunyai pengalaman sebagai asu, tapi tanpa sadar kita juga bisa meng-anjing-kan orang yang lain lagi. Kalau begitu, kita semua sama-sama “anjing” kecil alias anjing pudel. Lebih ekstrem lagi, kirik alias Si Guk-guk junior.

Tetapi faktanya, tidak ada satu pandangan dan teoripun yang mengatakan bahwa kita ini manusia yang punya dualisme identitas sebagai manusia yang sekaligus anjing atau manusia yang juga babi, kecuali babi ngepet atau anjing jadi-jadian. Pengalaman bukan teori. Bagaimanapun, teori adalah teori. Bisa menjadi konkret atau selamanya menjadi teori yang sangat mungkin akan dipecahkan oleh teori dan penemuan berikutnya sebagaimana hakekat ilmu pengetahuan. Ya, benar. Jika tidak gagal, di perbaharui, atau di patenkan menjadi dalil.

Teori-teori dunia kosmos geosentris ala filsuf Yunani kuno sebelum masehi semacam Ptolomeus (127-212 SM) telah dimentahkan bulat-bulat oleh Herr Nicolaus Copernicus (1473-1543) dengan paham heliosentris-nya. Teori ilmuwan Polandia itu di dukung dan di perbaharaui oleh Signor Galileo (1546-1642) dengan sistematika matematis dengan stetoskop yang justru bukan ditemukan oleh Tuan Galileo, meski beliaulah yang mempopulerkannya dari atas kapal Angkatan Laut Venice sebagai ABK. Ironisnya, teori kosmik terbaru itulah yang menyebabkan Galileo “menyerahkan diri” untuk dihukum. Tidak cukup itu saja, ia juga dimaki serta diperlakukan bak anjing oleh para ilmuwan lain dan otoritas keagamaan masa itu karena dianggap melecehkan dan menentang doktrin-doktrin risalah keagamaan di Italia. Lebih sadis lagi jika kita melongok Bruno (1548-1600), seorang pendukung dan pembaharu teori Copernicus. Ia beruntung (atau justru sial?) tidak dimaki-maki “anjing”. Ia bahkan tak sempat merasakan bagaimana kesalnya diperolok sebagai “anjing” karena ia langsung dibakar hingga mampus oleh otoritas penguasa keagamaan waktu itu karena dianggap kemasukan setan! Tragis. Ternyata ideologi penghakiman bakar-bakar memang tersimpan dalam tabiat manusia. Cuma mungkin di Indonesia yang baru saja tren.

Teori-teori tentang Bumi bulat, garis edar dan bentuk elips orbit, ataupun Matahari sebagai pusat tata surya milik Copernicus, Galileo, Keppler (1571-1630), hingga Bruno, kini bukan lagi sebuah teori. Ketika manusia-manusia berikutnya benar-benar menemukan bahwa Bumi itu bulat melalui berbagai studi-studi ilmiah dan pengujian atau yang paling sederhana melalui tiang kapal, lambat laun itu menjadi dalil atau hukum seperti halnya Dalil Phythagoras tentang segitiga siku-siku. Selintas, (meski hanya terlintas saja) bayangkan teori evolusi nan kontroversial Lamarck (1744-1829) atau Darwin (1809-1882). Tanpa mengecilkan kepintaran dan kontribusi beliau-beliau ini terhadap ranah ilmu biologi dan zoologi, saya yakin seratus persen Adam dan Hawa adalah manusia pertama yang merupakan asal-usul manusia. Teori yang menyatakan bahwa manusia berasal dari kunyuk alias kera (bukan anjing atau babi) dan kehidupan adalah semata-mata karena adaptasi dan proses seleksi alamiah belaka itu, masih sebuah teori. Semua kontradiksi baik yang bertolak dari sisi agamis yang harus kita yakini sebagai umat beragama maupun dari sisi science, saya rasa bisa secara logis dijelaskan. Bisa di argumentasikan tanpa bercucur keringat dan berkonfrontir sebagai pengalaman scientific dan sekaligus religious yang saya rasa tidak akan merugikan. Sekarang, anda bisa menambah perbendaharaan kosa kata makian anda dengan kunyuk.

Tapi saya pribadi cukup yakin bahwa tidak ada di dunia ini yang terjadi secara kebetulan ataupun proses alamiah dan adaptasi makhluk hidup terhadap alam semata, seyakin saya juga bahwa ilmu manusia itu sangat terbatas (walaupun saya mengakui seratus persen pula bahwa fosil itu adalah benar ditemukan). Saya pun menolak Generatio Spontanea yang mengatakan kehidupan bermula dari benda mati milik Aristoteles (348-322 SM), pemikir terbesar zaman Babylonia itu. Sekedar ilustrasi, telur menetas untuk menjadi makhluk hidup yang kemudian berkembang biak lalu menghasilkan telur lagi. Omne Ovum Ex Vivo. Ya, saya setuju; jika makhluk hidup berasal dari telur, lalu dari mana asal telur jika bukan dari jasad hidup? Tidak sulit menjawab pertanyaan jaman saya SD, “telur atau ayam dulu?”, bukan?

Lebih sederhana, coba pikir kunang-kunang. Kunang-kunang sanggup mengeluarkan 98% cahaya (energi panas) tanpa membakar tubuhnya sendiri atau tanpa membakar tangan kita saat memegangnya. Sedangkan manusia sekelas profesor membuat bohlam bercahaya 10% saja, jika kita sentuh akan terasa sangat panas. Hmmm… ajaib bukan?! Apakah mungkin kunang-kunang atau proses adaptasi terhadap alam yang menciptakannya? Anda mungkin punya pemikiran sendiri tentang ini.

Pikirkan gurita yang dalam sekejap mampu merubah warna sesuai dengan kondisi sekelilingnya karena memiliki sel-sel pigmen sensor radar, sewarna-warni apapun itu. Anda pasti tau berapa ratus ribu komposisi warna yang mungkin tercipta dari penggabungan “me-ji-ku-hi-bi-ni-u” yang diajarkan saat kita masih duduk di bangku SD. Coba tebak. Gurita (yang tidak punya akal dan jelas tidak sekolah) mampu melakukan penggabungan itu! Apakah anda berpikir alam mampu mendesain tubuh gurita? Catat pula tanaman Sundew di Afrika Selatan. Tanaman ini mengeluarkan cairan perekat terkuat di dunia yang berbentuk titik-titik embun di daunnya untuk memangsa serangga. Cairan itu mempunyai zat yang mampu membuat ngiler para serangga. Saat serangga hinggap, daun pun melipat untuk menghancurkan serangga apes tersebut dalam sekejap, dan merubahnya menjadi protein untuk sang tanaman yang membuka kembali daunnya dengan mudah tanpa membuat dirinya sendiri melekat. Lalu, untuk intermezzo saja, apakah ini cukup memicu otak kita untuk berpikir bahwa seluruh isi, sistem, dan prosesi keseluruhan alam semesta ini terjadi untuk kepentingan manusia yang seringkali sombong merasa besar dan hebat ini? Ini adalah bentuk lebih lanjut dari adanya pola rantai makanan atas alam dalam rangka meregenerasi dirinya sebagai pusat lingkaran ekosistem. Ini bukan semata-mata proses alamiah yang tidak terencana.

Dalam sudut pandang saya pribadi, mungkin cahaya kunang-kunang, radar gurita, dan perekat Sundew, adalah sebagian dari misteri dan rahasia alam. Sebagai misteri atau rahasia bisa saja keduanya terpecahkan atau bahkan tidak terpecahkan. Seperti halnya teori-teori, saya yakin bahwa ada sebagian misteri yang tak akan pernah bisa kita tau dan alami. Diatas kita, (juga diatas anjing, babi, atau kunyuk), ada Sang Pencipta yang berhak mengizinkan sampai dimana kita manusia bisa mengorek jawaban atas misteri dan rahasia tersebut. Pemecahan misteri dan rahasia (similar dengan teori) itu bisa jadi hanya akan sekedar menjadi angan-angan manusia bila Dia tidak mengizinkannya. Kita tidak bisa menolaknya. Ini salah satu bentuk dari yang di namakan situasi batas. Kita manusia. Belum titik. Kita manusia biasa. Titik.

Realitanya, manusia memang berada dalam situasi yang hanya serba sedikit tau, serba terbatas, dan serba kecil. Bahkan saat diperolok menjadi babi atau anjing dan kunyuk pun kita hanya memiliki sedikit opsi; (1) marah dan menghajar si empunya makian hingga babak belur dan lebam-lebam; (2) tetap santai dan cukup memberi counter sekedarnya; (3) diam saja; atau (4) mengajak berdiskusi tentang “etika memaki” yang malah akan membuang-buang pikiran karena tidak pernah akan selesai. Harap anda tau: jika anda memilih opsi pertama, anda akan semakin tidak bisa menghilangkan stigma makian itu dari benak dan hati si pemaki padahal anda dan dia sesama makhluk mini. Untuk opsi kedua, dengan counter tersebut anda akan menjadi manusia yang manusiawi sekaligus bijaksana yang sadar bahwa manusia itu sama-sama kecil. Opsi ketiga, anda menjadi orang yang tidak bisa membela diri saat anda di kecilkan orang lain. Untuk yang keempat, anda akan saling menjadi kecil dan menjadi bertele-tele.

Manusia itu kecil. Tidak usahlah dipungkiri. Ingin bukti lagi? Simak ini: manusia memang seperti Goliath bagi semut maupun bagi makhluk hidup kecil lain. Tapi kita akan menjadi David bagi gunung dan laut. Kemudian, Bumi yang kita tinggali ini juga bak Buto Ijo bagi Merkurius atau (lebih-lebih) Pluto. Tetapi jangan tanyakan ini kepada Jupiter atau Saturnus. Bumi seperti sebuah bola sepak bagi keduanya. Bagi Jupiter (hampir 10x lipat garis tengah Bumi; setara dengan 86.000 mil) Bumi cuma kunyuk kecil.

Lalu sekarang, di awang-awang, coba sandingkan Bumi dengan Matahari yang bergaris ekuator 864.000 mil. Bumi bagai gundu bagi Matahari, seperti halnya perbandingan jangkrik dan manusia!

Hmmm… masih berpikir dua kali untuk mengakui betapa kecilnya kita? Masih bisa sombong?! Masih bisa mengata-ngatai dan memperlakukan orang lain bak kunyuk? Oke, simak sekali lagi. Apakah anda pernah mendengar Arcturus? Arcturus itu, hmm… saya hampir tidak tidak tega mengatakannya. Matahari hanya bola pingpong di hadapannya!

Bersiaplah lebih terkejut. Saya lebih tidak tega untuk menjelaskan hal yang berikut ini. Apakah anda familiar dengan Betelgeuse dan Antares? Well, Antares adalah bintang terbesar di ruang angkasa yang pernah ditemukan manusia (sejauh ini). Betelguese hanya sedikit di bawahnya. Ingin tau seberapa besar Antares? Begini saja, karena ketidak-tegaan saya, silahkan simak sendiri gambar di atas, dan mari kita lihat apakah manusia-manusia kerdil macam kita ini masih bisa merasa sombong. Salah satu gambar itu lah yang bikin saya eling.

Matahari (ditunjukkan dalam tanda panah putih kecil) yang sebesar itu hanya berukuran sepersekian juta Antares! Bumi, bagaikan Amoeba baginya dan tidak terlihat lagi pada skala itu. Anda bisa bayangkan sendiri bagaimana kecilnya manusia -juga anjing, babi, dan kunyuk- yang tinggal di Bumi seperti kita ini?! Sesama kecil saja kok sombong.

Percayalah, anda tidak akan mau membayangkan bagaimana bila secuil saja bagian Matahari atau Antares pecah lalu menimpa Bumi. Saya pun cukup hanya berani membayangkan seperti apa rasanya saat sebuah meteor (kecil?) bermassa sekitar 10.000 ton jatuh di Arizona dan Siberia berpuluh tahun lalu. Dan anda (saya juga pastinya) akan lebih tidak mau lagi terbayang bagaimana bila sistem pada tata surya tidak ada. Apa jadinya bila planet satu dengan yang lain berbenturan, termasuk Antares! Anda sanggup membayangkan bagaimana nasib manusia jika itu terjadi? Bagaimana sanggup, wong membayangkan diri tersapu Tsunami atau tertimpa reruntuhan dinding akibat gempa saja ngeri! Lalu jika begitu, bagaimana kecilnya kita di hadapan Sang Pencipta? Lalu, apakah solar system alias tata surya juga proses alamiah belaka?! Ayolah, jangan mimpi.

Saya manusia biasa. Bukan pakar apapun juga. Meski pernah menjadi anjing, babi dan kunyuk, tapi saya, dia, mereka, dan kita semua manusia. Manusia yang kecil juga kerdil. Manusia yang sedikit tau dan kerap terbentur dengan situasi batas. Manusia yang serba terbatas. Manusia yang tak pernah akan bisa memilih kapan, dimana, sebagai apa, dan bagaimana akan dilahirkan. Sudah barang tentu juga berarti manusia yang tidak bisa menjawab kapan, dimana, dan bagaimana akan mati. Ini bukan teori, kita yang masih hidup belum pernah merasakan bagaimana menjadi mati. Bahkan sampai pada angka berapa umur yang kita punyai ini pun kita tidak akan pernah tau.

Tetapi, kita ini manusia yang bisa belajar dari semua teori dan pengalaman, apapun bentuknya dan seberapapun kecil atau besarnya, yang pernah kita dengar, dapat, atau baca (atau bahkan yang kita ciptakan sendiri). Lalu kita pun manusia yang bisa bertanya ; apakah kita ini termasuk manusia yang mengharapkan pahala kebesaran dan kehormatan dunia-akhirat tanpa sense kesederhanaan dan sense kerendah-hatian? Apakah kita manusia (bukan anjing, babi, atau kunyuk) yang termasuk ke dalam golongan manusia yang menangguhkan kesederhanaan dan kerendah-hatian hanya karena panjang angan-angan merasa bahwa kita ini besar dan seolah tau kapan akan mati? Bukankah sesungguhnya kita adalah manusia yang bisa menjadi anjing, babi, atau kunyuk? Atau kita kah manusia yang sadar bahwa kita kecil dan tidak ingin bertambah kecil dengan cara mengurangi kekerdilan-kekerdilan yang sering kali kita ciptakan sendiri? Janganlah menambah kecil hakikat kita dengan kekerdilan-kekerdilan. Manusia itu cuma makhluk kerdil yang terkadang hanya bisa menjadi anjing, dan babi bahkan kunyuk bagi satu sama lain.

Daru Dewanto, April 08

Tidak ada komentar: