Sabtu, April 05, 2008

Halal Haram, Hantam Bleh!

Anda pernah bokek? Ah, anda yang kaya nggak usah pura-pura merendah. Sebokek-bokek pengakuan anda, anda masih bisa mengisi perut dengan uang sendiri. Masih bisa beli korek kuping walaupun tetap “budi” (baca: budeg dikit) mendengar suara naga -bukan cacing lagi- di perut busung si miskin yang stress karena mahalnya “harga” hidup. Anda yang mampu, enteng saja mencaci si miskin pengutil susu di supermarket demi sang buah hati. “Kan masih ada kerja lain yang halal?”, begitu pasti kata anda. Anda mungkin sedang semaput, enggak sadar bahwa untuk bekerja dengan penghasilan cukup mereka butuh titel, dan titel dengan angkuhnya hanya bisa di dapat oleh orang kaya atau paling banter ngutang. Butuh relasi, tapi relasi mereka level teri. Anda lagi teler, enggak nyadar bahwa bekerja pun, mereka masih harus rela ngutang lagi untuk tambahan sekolah anak. Nah, terus kalau saya tanya soal bokek itu sama si miskin, bisa-bisa saya malah di maki-maki. Jangankan korek kuping, wong mikir besok bisa makan atau tidak sudah takut. Syukur kadang saya bisa punya uang, meskipun tidak jarang saya benar-benar bokek. Saking bokeknya, bokek…kek…kek, sampai kadang muncul keinginan menghalalkan yang haram. Untung istri saya enggak suka minta macem-macem. Paling-paling gincu untuk memoles bibirnya yang item. Anak saya, paling minta beli permen. Dua-duanya pun cuma bisa yang murahan, yang sering palsu dan kadaluarsa. Biarin lah, biarin bibir jontor. Lha, mau gimana lagi, wong pilihan buat kita sedikit. Untuk yang palsu pun butuh rejeki ekstra. Ini buat saya yang masuk kategori biasa, lho. Anda yang jauh lebih mampu tidak perlu mencibir. Tanya apa pernah anda memandang dari kaca mata orang miskin. Tapi kesadaran spiritual saya (syukurlah saya di berikan itu) kerap kali bangkit menghajar keinginan impulsif saya itu.

Bicara kesadaran spiritual, halah, gombal! Tapi betul, kan? Saya bisa selami seberapa frustasi orang berekonomi ecek-ecek yang masih ketiban bokek. Halal dan haram menjadi tipis, setipis kondom Sutra. Anda yang mampu, mudah saja untuk mengutuk dan memberi label tidak berperi-kemanusiaan pada Ibu yang membunuh anaknya karena jadi kelainan jiwa oleh kuatnya jepit kemiskinan. Anda yang sangat jauh lebih mampu, silahkan berpikir untuk apa anda mengumpulkan kekayaan. Jika ada tetangga anda mati kelaparan, bunuh diri, atau membunuh anaknya karena gila oleh ketidak-sanggupan membeli mahalnya hidup, lihat baik-baik di mata tetangga anda itu. Bila anda masih membumi, anda bisa melihat kesenjangan struktural dan betapa tipis pembatas halal dan haram karena minimnya intelektualitas spiritual dan pendidikan di dalamnya. Anda yang mampu dan intelek aja sering mendadak gagap membedakan halal atau haram. Pikir lagi, tujuan anda jadi kaya itu apa, padahal sementara itu, jutaan perut semakin lapar. Yang babak-belur oleh kemiskinan tambah bonyok karena dengan menjadi pengutil kelas coro ia beresiko di gebukin dan di bakar! Padahal mungkin yang ikut nonjokin itu pedagang yang suka tipu sana tipu sini pada pembeli. Barangkali yang membakar itu broker jasa masuk PTN atau broker perdagangan wanita yang di jadikan “ayam” ekspor ke negeri seberang. Akhirnya, Ketidak-adilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Saya tidak sedang menjadi pengacara si pengutil atau si pembunuh. Saya hanya maju tak gentar membela yang benar. Keduanya salah, tetapi itu terjadi karena kesalahan yang juga terjadi di atas semuanya. Mungkin termasuk saya, penanggung jawab fakir miskin dan anak terlantar yang di namakan negara, anda, Mbakyu, Nenek, Teteh, Om, Aa’, dan lain-lainnya. Halah, gombal maning! Maning-maning gombal. Saya bukan da’i di televisi yang nyaris serupa selebriti. Tapi saya cinta pada ulama “door to door” yang menyambangi seluruh pelosok ruang-ruang “hampa” tempat para bokek itu tinggal. Saya enggak berusaha jadi manusia paling ideal apalagi malaikat. Saya ini orang biasa yang kala-kala tidak eling bila sedang tidak bokek. Saya orang biasa yang kadang lebih rela membeli daripada memberi. Tapi saya rindu betul pada sosok negarawan yang bisa mengokohkan kesadaran sosial saya untuk memberi. Kangen pada sosok ulama dan da’i bersahaja yang menguatkan kesadaran spiritual saya supaya eling dan waspada terhadap virus 3HB, Halal Haram Hantam Bleh! Sikaaat! Saya rindu kaum kaya yang bisa melihat kaca-mata kaum papa dan melihat kekayaan sebagai kelebihan yang harus di bagikan. Saya juga rindu pada kaum papa yang mau tawakal dan sabar menahan diri untuk tidak meledak melihat kesenjangan dan ketidak-adilan yang menganga mirip mulut naga kelaparan. Halah, gombal mukiyo!

Daru Dewanto, April 08

Tidak ada komentar: