Kamis, April 10, 2008

The Reds Will Never Walk Alone

Rasa kantuk memang tidak bisa saya hilangkan kemarin malam. Wajar saja, saya seharian kerja. Nggak wajar kalo saya adalah Bupati pamong masyarakat yang pasrah kalah sama ngantuk waktu Pak Presiden pidato. Kopi Lampung pemberian tetangga segera saya seduh. Saya membaca Kompas dengan harapan membaca itu biasanya mengusir kantuk yang saya alami. Jam 23.30 tepatnya ketika saya mendadak seperti semaput. Saya tertidur pulas dan alpa menyetel alarm. Tapi tiba-tiba BYAR!, saya terbangun pukul 02.10. Rasa-rasanya bila saat itu bukan Liverpool, barangkali saya akan ketiduran sampai terang. Kemungkinan besar, saya akan terlewat Subuh dan bahkan mungkin telat ngantor pula. Untunglah hukuman double urung saya dapatkan. Suporter Si Merah di kota The Beatles itu bagaikan mengembalikan roh saya untuk bangun. Woi, Ru bangun… They Should Never Walk Alone. Meskipun dua puluh tiga menit sudah pertandingan berjalan, saya bisa mengusir ngantuk. Hush…hush… Satu yang membuat saya langsung melek selain karena hobi saya adalah Sepak Bola, favorit saya itu tertinggal 0-1. Sialan itu Arsenal, mentang-mentang saya tidur. Beraninya itu Arsenal, mencuri waktu satpam lagi tidur. Hueheheheheeee…

Tapi jelas saja saya percaya The Reds bisa menguber defisit. Ini Eropa, Bung! Yaaah, ini pembelaaan diri saja alias defensif karena di panggung Premier League kesebelasan saya rada-rada memble kalo ketemu sesama tim Big Four. Kepercayaan saya itu terkabul. Yup, betul. Sami Hypia menyundul dan gol. 1-1. Keyakinan saya membuncah saat Fernando “El Nino” Torres menyarangkan gol kedua The Reds dengan cara yang sangat elegan dan spektakuler. Mirip teman saya, Arif, dulu waktu saya masih SD yang ingusan. Gooooool! Kopi Lampung yang sudah dingin tumplek blek di lantai terkena sontekan kaki saya yang reflek bergerak.

Tapi betul-betul, sepak bola itu bagaikan simbol dari pertunjukan teater yang berjudul kehidupan. Muram sekejap bisa jadi senang. Senang itu pun bisa mendadak surut. Untuk kembali lagi meraih senang itu, tidak lain hanyalah maju tak gentar dan pantang mundur alias suka maju. Bukan maju kena mundur kena. Itu kalo tabrakan di jalan sama wong cilik yang bila di pikir-pikir wong cilik itu lah yang salah. Bukan juga depan bisa belakang bisa. Itu gay.

Arsenal memang anak-anak muda "gila". Nggak mau tunduk gitu aja. Salut saya. Tinggal tujuh menit waktu normal, Si Nwanko Kanu baru, Adebayor, bikin gol! Tiga pemain depan Arsenal berhadapan frontal dengan Reina yang bak The Lone Ranger. Skor 2-2. Mendadak saya mau pingsan. Udah telat nonton, kopi tumpah, di tambah lagi rasa was-was Liverpool bakalan tersingkir. Tapi rasa pantang mundur itu memang pasti akan terbalas. Kalo mental Eropa Anfield Gank hanya berkualitas aspal jalan Ibu Kota, mereka akan langsung jatuh setelah gol Adebayor itu. Rasa nggak mau menyerah hanya karena satu hadangan akan berbalas air susu. Cuma khusus tadi malam, balasannya adalah hadiah penalti akibat Ryan Babel di jatuhkan di kotak 12 pas. Mengapa saya bilang mental The Reds bukan sekelas aspal? Dengan skor imbang 2-2 yang menyebabkan Liverpool harus melupakan semi final, menendang penalti adalah ujian berat. Jika saja mental Steven Gerard ecek-ecek, niscaya tidak akan Liverpool menang malam itu. So, jadilah Gerard di sayang oleh para pengawas ujian di stadion atau yang ada di rumah seperti saya. Nilainya A karena bola sukses membobol gawang Almunia. Lebih sempurna lagi, seolah membayar gol hadiah penalti, Babel mencetak satu gol indah lagi di injury time.

Saya girang gak kato’an. Saya guiraaaang setengah mampus. Liverpool ke semi final Liga Champions. Liverpool -seperti jalan yang di kasih dari Atas Sana- membangunkan saya dari kealpaan saya menyetel alarm dan saya bisa Subuhan. Terhindarlah saya dari hukuman. Memang betul, The Reds Will Never Walk Alone. Ah, bisa aja saya ini di sambung-sambungin.

Tidak ada komentar: